Di pertengahan kota dengan hiruk pikuk pertokoan. Cuaca semakin mendung, langit bergemuruh, matahari bersembunyi. Beberapa kendaraan bermotor ada yang menepi guna memasang jas hujan, berjaga-jaga jikalau air dari langit itu menetes di pertengahan jalan.
Aydan sempat berhenti di trotoar hanya untuk melihat sekeliling, suasana semakin sejuk dan teduh. Perlahan hujan menetes membasahi jalan, wanginya khas menyeruak, membuat Aydan bertanya-tanya.
"Wangi petrichor, ya?"
Seolah tahu isi kepala bocah berpipi gembil itu, Khaleel terkekeh. "Namanya petrichor, wangi tanah kering kesiram air hujan. Wanginya bikin tenang."
Aydan baru tahu, wangi tanah tersiram air hujan juga memiliki nama. Ia mengangguk setuju. "Aku suka wangi petrichor."
Khaleel tertawa kecil, merangkul yang lebih muda dan kembali melangkah seiringan dengan tetesan air hujan membasahi puncak kepala. "Aku juga."
"Kita mau main hujan?" Aydan mendongak menatap Khaleel.
"Mau?"
Dan disinilah mereka, bocah SMK dan kakak Barista. Berlarian di tengah kota membelah hujan, keduanya berlomba-lomba mencari kebahagiaan, memberi kenangan baru untuk jiwa kecil dalam diri masing-masing.
Ketika hujan semakin deras, Aydan berhenti berlari. Ia tampak mengucek kedua matanya sampai Khaleel khawatir. "Kenapa, Na? Kelilipan?" Mencoba melepas tangan mungil bocah SMK yang kini masih bergelut dengan rasa perih.
"Iya, air hujan masuk mataku." Aydan melepas tangan, memperlihatkan kedua matanya yang memerah. Khaleel mendesah panjang, sebelum menarik pergelangan tangan Aydan dan membawanya ke sebuah gedung perpustakaan tua di seberang jalan.
Kala itu senja di perpustakaan tua, hujan rintik-rintik, mereka berteduh di bawah atapnya. Wangi khas buku usang serta lilin aroma lavender, menyeruak masuk indera penciuman. Memeluk tubuh masing-masing, menyapa angin sore selepas hujan, perpaduan dingin serta debaran jantung. Bukan karena kedinginan, namun karena hati keduanya yang diam-diam berkenan, bertaut mengikat kasih tanpa kata, menyembunyikan rasa, meski dunia pun tahu walau hanya sekadar lirikan mata.
"Dingin, Na?"
Aydan menoleh, giginya sedikit bergemeletuk. Atensinya menatap Khaleel yang lebih tinggi, lantas mengerjapkan mata dan membuang pandangannya lagi. "Iya."
Perlahan Khaleel merangkul yang lebih muda, menariknya agar lebih dekat guna berbagi kehangatan. "Mau pulang sekarang?" tanyanya dengan intonasi lembut, Aydan kembali menoleh.
Rintik hujan detik demi detik perlahan sirna, yang tersisa hanya genangan disertai tetesan air dari daun di atas pohon flamboyant.
Keduanya hampir beberapa menit saling bertukar pandang, sampai Khaleel sedikit menyentil dahi Aydan. "Malah bengong," katanya, diselingi kekehan kecil.
Aydan mengusap dahi. "Gak mau pulang."
Khaleel mengernyit bingung. "Kenapa?" Kemudian menunjuk langit dan kembali menatap Aydan. "Bentar lagi malam, loh."
Tidak paham dengan isi hatinya, entah karena Aydan betulan tidak mau pulang, atau karena Aydan ingin lebih lama bersama Khaleel di bawah langit senja sehabis hujan.
Sampai semuanya menjadi kelabu, Aydan bingung. Ia berusaha menyangkal, bahwa dirinya terpesona pada Khaleel tanpa syarat.
"Ayo ke Lengkong aja," ajak Khaleel.
××
lengkong itu isinya jajanan semua guys,
surganya jajanan di bandung.
kumplit banget, siapin duit banyak aja kalo kesana. soalnya beneran semua jajanan ada di pinggir jalan, dari ujung ke ujung. dan khaleel ngajak aydan buat jajan ke sana malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Moon | Minsung
Fanficaku gak keberatan kalau kamu gantiin bulan di langit malam. [ minho x jisung, lokal! bxb ] cr. jjemonads 2024.