Teringat ketika insiden saling pukul saat Aydan masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ia memiliki luka di kaki sebelah kiri karena tergores kawat entah darimana saat ia berkelahi. Darah mengucur, ia menangis kencang dan balik memukul tepat ke arah wajah sang lawan.
Setelah itu orang tua mereka datang untuk berhadapan langsung dengan kepala sekolah, Aydan duduk di sebelah Mama, sementara sang lawan yang diketahui seorang kakak kelas berdiri di samping Ibunya juga.
"Aydan dari kelas 3-A, Khaleel dari kelas 6-C. sekarang saling minta maaf ya, jangan berantem lagi. Khaleel juga udah kelas 6 semester akhir, beberapa bulan lagi kelulusan, kalo adek kelasnya nakal cukup kasih tau aja, jangan langsung pukul, okay?"
"Dia yang pukul duluan, Bu."
Mendengar pembelaan bocah berusia 11 tahun itu membuat Mama Aydan diam-diam meremat pinggang sang anak dengan gemas. Aydan kecil meringis dan kembali terisak, namun matanya tak sengaja melihat Khaleel sedang memperhatikan tanpa ekspresi. Kemudian bocah kelas 6 itu menghela napas sambil kembali menatap sang guru.
"Dia emang yang pertama mukul, tapi saya yang mancing duluan, saya minta maaf ya."
Setelah pulang sekolah, di usia Aydan yang masih 8 tahun itu kena omel habis-habisan oleh sang Mama, sesekali cubitan-cubitan kecil membuatnya teriak meraung meminta ampun.
"Dasar bandel! Nakal! Udah Mama bilang berkali-kali jangan jadi anak nakal!"
"Ampun Maaa, sakitt!" Aydan menangis karena di cubit di seluruh tubuhnya sampai merah-merah, ia berusaha untuk berontak dari cengkeraman sang Mama, sampai genggaman itu terlepas dan ia berhasil kabur keluar rumah dengan terbirit-birit.
Sesampainya di taman komplek paling ujung, Aydan duduk sendirian di bawah pohon beringin, pohon rindang tua yang kata orang-orang banyak demitnya. Aydan masih menangis sambil memeluk kedua lutut. Saat sedang berlarut dalam kesedihan, seseorang datang, ikut duduk di sebelah. Lantas Aydan menoleh, melihat bocah bernama Khaleel itu menatapnya datar.
"Maaf."
Aydan tidak menggubris permintaan maaf dari Khaleel.
"Namamu Aydan?" tanya Khaleel lagi, ia ikut memeluk kedua lututnya sambil menatap Aydan penuh rasa bersalah. "Maaf, ya. Aku sebetulnya gak kenal kamu selama tinggal di komplek ini, aku juga baru tau ternyata kita satu sekolah. Mungkin ini jadi yang pertama dan terakhir kita ngobrol, karena setelah lulus SD aku mau pindah ke Jawa."
Ucapan Khaleel sukses membuat Aydan menoleh, tangisnya langsung berhenti begitu saja. "Jawa itu dimana? Di luar negeri, ya?"
"Eh?" Khaleel menerawang ke atas langit siang hari, kemudian kembali melirik Aydan di sebelahnya. "Bukan, Jawa masih Indonesia."
"Kamu orang Jawa?"
Bocah 11 tahun itu mengangguk. "Iya, aku lahir di Jawa. Kalau gak salah, aku lahir di Semarang."
"Semarang itu masih Indonesia, 'kan?"
"Masih, buktinya aku bisa bahasa Indonesia."
Aydan si bocah 8 tahun mengangguk mengerti. "Kalau bahasa Sunda, bisa?"
Khaleel menggelengkan kepala. "Gak bisa."
"Nama kamu Khaleel, ya?" Aydan mengubah topik pembicaraan karena mau memastikan nama teman barunya itu. Sebelum Khaleel menjawab, seseorang lebih dulu meneriaki nama Aydan.
"Aydaaan! Balik!"
Bocah pipi gembil itu terperanjat saat mendapati sang Mama menyusulnya, ia panik, lantas berlari meninggalkan Khaleel di bawah pohon sendirian. Tanpa Aydan sadari, bahwa itu adalah kali terakhir mereka bertemu.
××
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Moon | Minsung
Fiksi Penggemaraku gak keberatan kalau kamu gantiin bulan di langit malam. [ minho x jisung, lokal! bxb ] cr. jjemonads 2024.