Seorang cewek bertubuh tinggi dengan rambut sebahu yang dikepang tengah berjalan dengan langkah ringan menuju ruang OSIS. Senyuman kecil terlukis di wajahnya, memancarkan keceriaan yang menyegarkan di tengah kesibukan hari sekolah. Begitu sampai di depan pintu ruangan, ia mengetuk perlahan dan melangkah masuk, mendapati seorang cowok yang tengah sibuk dengan dokumen di meja.
"Kak Nata, udah makan?" tanya Gina dengan nada lembut, matanya penuh perhatian saat memandang sosok kakak kelas yang selama ini diam-diam ia kagumi.
Nata, yang tengah serius berkutat dengan kertas-kertas di hadapannya, mendongak dan menatap Gina dengan senyum ramah. "Baru aja gue mau ke kantin," jawabnya sambil tersenyum.
Mendengar itu, Gina tersenyum semakin lebar. Ia mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya dan menyodorkannya kepada Nata. "Pas banget, Kak. Aku bawa bekal buat Kak Nata," katanya sambil tersipu malu. "Semoga Kak Nata suka ya!"
Nata terkejut, namun senyuman lebar terlukis di wajahnya saat menerima kotak bekal dari Gina. "Wah, makasih banyak, Gin. Gue coba, ya!" katanya tulus, matanya menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam.
Gina tersenyum senang, dan hatinya terasa hangat melihat ekspresi puas di wajah Nata. "Iya, Kak. Semangat, ya!" Dengan senyum manis, Gina pun berbalik meninggalkan ruang OSIS, meninggalkan Nata yang menatap kotak bekal dengan perasaan penuh syukur.
***
Di sudut lain koridor, Renaga tampak kesal ketika tiba-tiba seragamnya tersiram minuman berwarna kuning oleh seseorang yang berpapasan dengannya. Warna kuning terang itu segera menodai seragam putihnya, mengundang reaksi spontan dari Renaga yang menatap noda tersebut dengan tatapan jengkel.
"Maaf, Kak!" ujar seorang cewek sambil menunduk dalam-dalam. Ia memegang gelas minumannya dengan erat, tampak menyesal dan sedikit takut melihat ekspresi Renaga.
Renaga menghela napas dalam-dalam, menahan kekesalan yang meluap. "Kalau minta maaf itu liat orangnya, jangan nunduk!" ucapnya tegas, meski suaranya masih terdengar lembut.
Cewek itu, yang ternyata Gina, mendongak perlahan, menatap langsung ke mata Renaga. "Maafin aku, Kak. Aku benar-benar nggak sengaja!" ucapnya dengan nada tulus.
Renaga terdiam sejenak, terpaku oleh tatapan Gina yang begitu jujur. Meski ia tidak merasakan jantungnya berdetak kencang seperti saat bersama Renka, namun ada perasaan aneh yang menyelinap saat ia menatap mata Gina. Entah kenapa, kemarahannya seakan luntur.
"Kak?" Gina memanggilnya, membuat Renaga tersadar dari lamunannya.
Renaga mengerjap, kemudian tersenyum tipis, berusaha terlihat tenang. "Eh, iya. Nggak apa-apa, kok! Hati-hati ya kalau jalan," balasnya lembut, membuat Gina tersenyum lega.
"Iya, Kak. Kalau gitu, aku pamit dulu, ya," kata Gina sambil tersenyum sebelum berlalu pergi, meninggalkan Renaga yang diam-diam memandangi punggungnya.
***
Sore harinya, Renaga berjalan bersama Renka di sepanjang lorong sekolah. Mereka mengobrol santai, hingga akhirnya Renaga menceritakan pertemuannya dengan seseorang yang baru saja ia temui tadi pagi.
"Ren, tadi gue ketemu sama Dekkel," ujar Renaga tiba-tiba, membuat Renka menoleh dengan ekspresi ingin tahu.
"Oh iya? Terus?" tanya Renka, berpura-pura santai, meski di dalam hatinya ada rasa penasaran yang timbul.
"Sumpah, gila, dia tipe gue banget," jawab Renaga sambil tertawa kecil, tampak begitu bersemangat. "Dia manis, tubuhnya juga tinggi banget. Tipe gue banget kan?"
Renka menoleh, senyumannya perlahan memudar. Ada rasa perih yang tak bisa ia hindari, tapi ia berusaha menutupinya dengan tersenyum. "Iya… tipe lo banget, ya…" gumamnya, suaranya terdengar pelan.
Renaga yang tak menyadari perubahan ekspresi Renka, melanjutkan dengan santai. "Ren, lo dengerin gue nggak?"
Renka tersentak dan memaksakan senyum. "Iya, denger kok, Aga."
Renaga menatap Renka sejenak, seolah memastikan bahwa sahabatnya benar-benar mendengarkannya. "Serius?"
"Iya, Aga," jawab Renka, kali ini dengan suara yang terdengar sedikit getir.
Tanpa Renaga sadari, hati Renka terasa semakin sakit. Dalam hati kecilnya, Renka ingin meneriakkan perasaannya—ingin memberitahu Renaga betapa ia menyimpan rasa yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Tapi ia hanya tersenyum, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, baginya mencintai Renaga adalah suatu beban sekaligus anugerah yang sulit ia pahami.
Renka kemudian berjalan pulang ke rumah dengan hati yang hancur. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Ingatan tentang percakapan mereka terus berputar di kepalanya, seolah berusaha memperjelas betapa sulitnya posisinya saat ini.
Dengan pelan, Renka meremas dadanya yang terasa sakit. "Kenapa harus begini, ya?" gumamnya lirih, bertanya pada dirinya sendiri. Bulir air mata perlahan jatuh membasahi pipinya, tak sanggup menahan rasa sakit yang ia pendam.
Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. Dalam hatinya, ia berharap semua ini bisa segera berakhir—bahwa perasaannya pada Renaga akan menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan luka. Dan jika ia bisa memilih, ia ingin tertidur lama, berharap bahwa ketika ia terbangun nanti, perasaan itu sudah musnah, meninggalkan dirinya dalam kedamaian.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Renka tahu bahwa cinta yang ia rasakan untuk Renaga tak semudah itu bisa hilang.
________
MASIH STAY KAN?
JANGAN BOSAN DULU YA? SOALNYA CERITANYA BELUM TAMAT
TUNGGU SAMPAI END GUYS
TETAP PANTAU DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart
Teen FictionDILARANG PLAGIAT! CERITA INI UDAH LAMA TAPI BARU PUBLISH GUYS! JANGAN JADI PEMBACA GELAP DAN TETAP DUKUNG PENULIS DENGAN CARA VOTE DAN KOMEN!!! "Kita begitu dekat, namun terasa jauh. Maaf karena mencintaimu dengan tidak tau malunya." -Renka Renka sa...