Renka menghela nafas kasar. Ia membuka pintu kamar, hingga terpampang sebuah gundukan selimut di atas tempat tidur.
Cewek itu berjalan ke arah kasur. Ia lalu mendudukkan dirinya di pinggiran kasur sang pemilik yang masih asik tidur.
“Aga, bangun! “ Tak ada pergerakan. Hal itu membuat Renka kesal.
"Aga, bangun!" panggil Renka sekali lagi, suaranya tegas. Namun, Renaga masih tetap diam, bahkan tidak bergerak sedikit pun.
Renka semakin kesal dan memutuskan untuk mengancamnya. "Aga, bangun. Gue hitung sampai tiga ya? Kalau lo gak bangun, gue gak mau bicara sama lo lagi..."
"Satu..."
Tetap sunyi, Renaga tidak merespons.
"Dua..."
Terdengar sedikit gerakan dari balik selimut, membuat Renka sedikit tersenyum, merasa ancamannya bekerja.
"Ti—"
Sebelum hitungan ketiga keluar, tiba-tiba Renaga menyembulkan kepalanya dari balik selimut, langsung berbaring dengan kepala di atas paha Renka. Ia mengusap perut Renka dengan manja menggunakan kepalanya, matanya setengah terbuka, dan suaranya terdengar parau karena kantuk.
"Lima menit lagi, Ren... Gue masih ngantuk," rengeknya dengan nada memelas.
Renka menghela napas panjang, setengah sebal tapi tersenyum. "Gak ada lima menitan, Aga! Lo kan udah janji ama gue."
Namun, Renaga hanya bergumam pelan, "Masih ngantuk, Ren..."
***
Beberapa jam kemudian, mereka berdua berada di sebuah supermarket, berjalan menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan rak bahan makanan. Mereka mengobrol dan tertawa riang, menikmati kebersamaan tanpa beban. Di sela-sela kesibukan mencari bahan, Renaga tiba-tiba berhenti, tatapannya tertuju pada Renka yang tampak kelelahan setelah berjalan berkeliling cukup lama.
"Ren!" panggilnya tiba-tiba.
Renka menoleh, penasaran. Tanpa peringatan, Renaga mengangkat tubuh Renka dan menempatkannya di dalam troli belanja yang cukup besar. Sebelum Renka sempat protes, Renaga tersenyum lebar.
"Lu duduk di situ aja, sebutin aja yang lu pengenin. Gue yang bakal ambil. Gue yakin, lu pasti capek."
Renka hanya bisa terkekeh. Kini, Renaga tampak begitu perhatian dan protektif padanya, membuat hati Renka terasa hangat. "Woke, babu! Majikan lo bakal dengerin dan turutin semua ucapan lo!" canda Renka sambil tertawa.
Renaga pun ikut tertawa. Ia mulai mendorong troli berisi Renka, mengelilingi lorong-lorong supermarket, sesekali berhenti di rak yang penuh dengan bahan makanan. Mereka terus bercanda, melempar lelucon satu sama lain, bahkan saling menggoda. Tawa dan senyum tidak pernah berhenti menghiasi wajah mereka, seolah mereka adalah satu-satunya orang di dunia saat itu.
Tak sedikit pengunjung supermarket yang menoleh, tersenyum melihat keduanya. Beberapa bahkan berpikir bahwa mereka adalah pasangan kekasih yang sedang menikmati momen manis bersama. Namun, baik Renka maupun Renaga tidak menyadari tatapan orang lain, karena dunia mereka terasa penuh dengan kebahagiaan yang hanya mereka pahami.
"Selanjutnya mau ke mana, Ren?" tanya Renaga sambil melirik Renka yang terlihat kebingungan.
"Gue juga gak tau, mending ikuti aja kaki melangkah," jawab Renka asal, sambil memutar pandangannya ke segala arah.
Renaga mendengus geli. "Bego! Mana ada sih, ngikutin kaki melangkah. Emangnya kaki bakal bawa lu ke jalan yang bener?"
Renka menghela napas dengan sedikit kesal, melipat tangannya di depan dada. "Ya udah sih! Lo aja yang mikir kita ke mana selanjutnya."
Renaga tertawa kecil sambil menepuk troli. "Oke, kita makan dulu, ya? Gue lapar banget!"
Renka tersenyum dan mengangguk. "Setuju banget, Pak Supir! Jalan terus!" ujarnya sambil menepuk troli, mengisyaratkan Renaga untuk segera mendorongnya ke bagian kasir.
Keduanya pun meninggalkan lorong bahan makanan, menuju kasir dengan tawa dan candaan yang terus berlanjut. Hari itu, kebersamaan mereka terasa begitu sederhana tapi penuh makna. Bagi Renka, momen seperti ini adalah momen yang membuatnya merasakan perasaan yang selama ini ia sembunyikan di dalam hati.
Setelah selesai berbelanja, Renaga dan Renka membawa belanjaan mereka masing-masing tanpa troli, hanya dengan kantong belanja yang penuh dengan bahan makanan. Mereka tertawa kecil saat melihat betapa banyaknya barang yang mereka bawa, terutama karena sebagian besar sebenarnya adalah permintaan Renka.
"Lo sadar gak sih, Ren, kita kayak orang habis borong buat pesta besar-besaran," kata Renaga sambil tertawa, tangannya penuh dengan kantong belanja.
Renka terkikik, sedikit merasa bersalah. "Habisnya lo bilang terserah gue, jadi gue ambil aja semuanya. Lo bilang mau dengerin gue kan, ‘Pak Supir’?"
Renaga tertawa dan menggelengkan kepala. "Iya, iya. Gue ‘kan selalu siap jadi babu lo," godanya sambil mengangkat kantong belanja yang ia bawa.
Mereka pun berjalan menuju restoran yang tak jauh dari supermarket. Saat mereka tiba, Renaga memilih meja di dekat jendela besar, dan keduanya segera duduk sambil meletakkan kantong-kantong belanja di lantai di samping mereka. Begitu pelayan datang dan mereka memesan makanan, Renka menatap Renaga sambil tersenyum.
“Aga, lo beneran gak keberatan nemenin gue terus, kan? Kadang gue merasa kayak… mungkin gue nyusahin lo,” kata Renka pelan, menundukkan sedikit wajahnya.
Renaga menatapnya, sedikit terkejut mendengar nada serius dari Renka. Ia tersenyum, menatap Renka dengan pandangan lembut yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun selain sahabatnya itu. "Nyusahin? Lo malah bikin hari-hari gue jadi lebih seru. Serius, Ren, gue senang banget bisa ada di samping lo."
Hati Renka bergetar mendengar kata-kata Renaga. Meski mereka hanya sahabat, ada momen-momen seperti ini yang membuatnya merasa ada sesuatu yang lebih. Ia tersenyum pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang tak ingin ia akui.
Saat makanan mereka tiba, suasana perlahan kembali ceria. Mereka makan dengan santai, saling bertukar cerita sambil sesekali tertawa lepas, seperti tak ada yang mengganjal di antara mereka.
Usai makan, Renaga berdiri dan mengambil kantong belanja di lantai, lalu menatap Renka dengan senyum jahil. "Ayo, putri. Biar gue yang angkat ini semua. Lo cukup jalan bareng gue aja."
Renka hanya mengangguk sambil tersenyum, mengikuti Renaga keluar dari restoran. Mereka berjalan beriringan di trotoar, membiarkan percakapan ringan mengalir di antara mereka. Renaga sesekali menggoda Renka atau membuat lelucon yang membuat Renka tertawa.
Saat mereka tiba di tempat parkir, Renaga tanpa sadar meraih tangan Renka untuk menuntunnya ke arah mobil. Renka terkejut tapi membiarkan genggaman itu. Di dalam hati, ia berharap bisa menyimpan momen kecil ini, menikmati rasa nyaman yang hanya ia dapatkan saat bersama Renaga. Meski mereka hanya sahabat, bagi Renka, genggaman tangan itu sudah cukup membuatnya merasa istimewa.
____________
AMAN KAN?
MASIH STAY KAN?
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN GUYS
DAN TETAP PANTAU CERITA INI YA
DAN JUGA JANGAN JADI PEMBACA GELAP
SEE YOU DI BAB SELANJUTNYA 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart
Teen FictionDILARANG PLAGIAT! CERITA INI UDAH LAMA TAPI BARU PUBLISH GUYS! JANGAN JADI PEMBACA GELAP DAN TETAP DUKUNG PENULIS DENGAN CARA VOTE DAN KOMEN!!! "Kita begitu dekat, namun terasa jauh. Maaf karena mencintaimu dengan tidak tau malunya." -Renka Renka sa...