Renka duduk di sebelah Renaga, keduanya terdiam, menikmati udara sore yang sejuk di taman. Pohon-pohon rindang melindungi mereka dari sinar matahari yang mulai meredup, menyisakan bayangan panjang di sekitar mereka.
Tiba-tiba, Renaga memecah keheningan. "Gue kayaknya suka deh sama Gina," ucapnya pelan, seolah ragu untuk mengungkapkannya.
Kalimat itu menghantam Renka seperti angin dingin yang menusuk. Tubuhnya mendadak membeku, matanya terfokus pada rerumputan di bawah kaki mereka. Dia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata-kata itu dari Renaga. Sahabat kecilnya, orang yang diam-diam sudah lama ia cintai.
Renaga menoleh ke arah Renka, matanya penuh harapan. "Menurut lo, gue cocok gak sama Gina?"
Renka menelan ludah, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ia memaksakan senyuman, meski di dalam hatinya ada pergulatan besar. "Lo cocok, kok," katanya dengan suara yang berusaha terdengar mantap.
Renaga tersenyum, ekspresi yang sangat ia kenali, namun kali ini terasa asing. Senyum itu bukan untuknya, tapi untuk seseorang yang lain. "Beneran?" tanyanya lagi, memastikan.
Renka mengangguk cepat, mungkin terlalu cepat. "Iya! Lo cocok sama Gina."
Renaga tertawa kecil, mengembuskan napas lega. "Gue lega banget denger itu, Ren. Gue gak tahu, tiap gue deket sama dia, rasanya beda aja. Kayak… gue bisa jadi diri gue sendiri, tanpa harus berpura-pura."
Mendengar pengakuan itu, hati Renka semakin perih. Betapa ia menginginkan kata-kata itu ditujukan untuknya, bukan untuk orang lain. Tapi sebagai sahabat, ia hanya bisa mendukungnya, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan perasaannya sendiri.
Renka menundukkan kepala, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Gue seneng kalau lo bahagia," jawabnya pelan.
Renaga mengerutkan kening, menangkap nada aneh dalam suara sahabatnya. "Lo gak apa-apa, kan, Ren?"
Renka cepat-cepat menegakkan kepala dan tersenyum lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar, meski senyum itu jelas terasa dipaksakan. "Iya, gue baik-baik aja, kok. Gue cuma… seneng aja denger lo suka sama Gina," katanya, berusaha terdengar seceria mungkin.
Renaga menghela napas lega dan merangkul Renka, sesuatu yang sering ia lakukan. Namun, kali ini rasanya berbeda bagi Renka. Pelukan itu membuatnya semakin menyadari betapa ia tak pernah bisa memiliki hati Renaga.
"Makasih, Ren," ucap Renaga tulus. "Lo emang sahabat terbaik gue. Gue gak tahu harus bilang apa kalau gak ada lo yang selalu dukung gue."
Renka menggigit bibirnya, menahan perasaan yang terus bergemuruh di dadanya. "Sama-sama, Aga. Gue cuma pengen lo bahagia," ucapnya, meski hatinya terasa kosong.
Renaga kembali tersenyum, menatap langit yang mulai berwarna jingga. "Gina tuh... gue rasa dia beda dari yang lain. Senyumnya, caranya bicara, semuanya bikin gue ngerasa tenang."
Renka hanya bisa mendengarkan, hatinya semakin terkikis dengan setiap kata yang keluar dari mulut Renaga. Dalam diam, ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu, meski ia tahu harapan itu sia-sia.
***
Malam harinya, setelah seharian menahan perasaannya, Renka akhirnya tiba di kamarnya yang sunyi. Ia melempar tasnya ke sudut kamar, lalu duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Lampu kota yang remang-remang terlihat dari balik tirai, namun baginya, cahaya itu terasa hambar, seakan memudar bersama semangatnya.
Renka menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menahan rasa sakit yang semakin membuncah. Semua kenangan bersama Renaga berputar di kepalanya—senyum hangatnya, tawa renyahnya, dan semua momen yang mereka lalui bersama. Tapi kini, semua itu terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa tempat di hati Renaga bukanlah untuknya.
Ia meraih bantal dan mendekapnya erat-erat, seolah itu bisa meredakan pedih di dadanya. Tak kuasa lagi menahan, akhirnya air matanya tumpah. Isakannya memenuhi kamar yang hening, dan ia biarkan perasaannya mengalir tanpa ada yang melihat, tanpa ada yang menilai. Ini satu-satunya tempat di mana ia bisa jujur pada dirinya sendiri.
Setiap kenangan bersama Renaga terasa menyakitkan. Ia teringat bagaimana Renaga selalu ada di sisinya, bagaimana Renaga menggandeng tangannya saat mereka masih kecil, dan semua janji-janji persahabatan yang pernah mereka buat. Namun, sekarang ia sadar, ada batasan yang tak bisa ia lewati. Renaga telah menemukan seseorang yang membuatnya bahagia, dan itu bukan dirinya.
Setelah sekian lama menangis, Renka mengusap air matanya. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Namun, di tengah rasa sakitnya, ia mulai menyadari sesuatu: jika ia benar-benar mencintai Renaga, maka ia harus belajar merelakan. Perasaan itu takkan hilang dalam semalam, tapi ia bertekad untuk mencoba. Perlahan, ia menarik napas panjang, menguatkan diri.
Renka tahu, meski ini mungkin bukan akhir dari cintanya pada Renaga, ia harus belajar untuk menerima bahwa kebahagiaan Renaga adalah prioritasnya, bahkan jika itu berarti harus memendam perasaannya sendiri.
_________
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN GUYS
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT! CERITA INI UDAH LAMA TAPI BARU PUBLISH GUYS! JANGAN JADI PEMBACA GELAP DAN TETAP DUKUNG PENULIS DENGAN CARA VOTE DAN KOMEN!!! "Kita begitu dekat, namun terasa jauh. Maaf karena mencintaimu dengan tidak tau malunya." -Renka Renka sa...