3. Berusaha biasa.

777 58 0
                                    


Pagi di Seoul baru saja dimulai, tetapi hiruk-pikuknya sudah menyeruak ke segala penjuru kota. Di pusat kota, gedung-gedung tinggi memantulkan cahaya matahari yang baru muncul dari balik cakrawala, membiaskan kilauan yang menerangi jalan-jalan. Choi Seungcheol menatap pemandangan itu dari balik jendela ruang kerjanya yang luas di Choi Industries. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin dari AC ruangan memenuhi paru-parunya, mencoba menenangkan pikirannya yang belakangan ini terasa kacau.

Sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan di atap gedung Yoon Corporation bersama Jeonghan, tetapi percakapan penuh ketegangan itu masih terus menghantui pikirannya. Setiap kali bayangan wajah Jeonghan yang tampak tenang namun penuh ketegasan muncul di benaknya, Seungcheol merasakan amarah yang tidak bisa ia jelaskan. Jeonghan, dengan sikap diamnya yang menenangkan, selalu berhasil membuat Seungcheol merasa terintimidasi. Tetapi, di sisi lain, ada perasaan tak nyaman yang tak bisa ia abaikan setiap kali mengingat pria itu.

“Seungcheol-ssi, ini jadwal rapat Anda hari ini,” ucap sekretarisnya, membawa Seungcheol kembali ke kenyataan. Ia menerima dokumen itu dengan anggukan kecil, berusaha memusatkan pikirannya kembali ke pekerjaan.

Bagi Seungcheol, pekerjaan adalah pelariannya. Di tengah segala tekanan dari keluarga dan perjodohan yang mengusik kehidupannya, pekerjaan adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa memiliki kendali penuh. Ia menghabiskan sebagian besar harinya dengan memeriksa laporan, menghadiri rapat-rapat penting, dan merencanakan strategi bisnis untuk memperkuat posisi Choi Industries di pasar. Tetapi, di sela-sela kesibukannya, ia masih tidak bisa sepenuhnya mengabaikan bayangan Jeonghan dan seluruh rencana yang dipaksakan kepadanya.

Satu-satunya pelipur laranya adalah Jihoon. Kini, setelah kakeknya mengetahui tentang hubungannya dengan Jihoon, ia tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan mereka seperti sebelumnya. Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Seungcheol selalu menyempatkan diri untuk bertemu Jihoon. Di sana, bersama kekasihnya, ia bisa merasa sedikit lebih bebas dan menjadi dirinya sendiri.

Malam itu, Seungcheol dan Jihoon duduk di kafe kecil di sudut kota, tempat favorit mereka yang jarang dikunjungi orang. Di bawah cahaya temaram, Jihoon menatap Seungcheol dengan senyuman hangat, sementara Seungcheol merasa tenang hanya dengan duduk di sana, menikmati kehadiran Jihoon yang selalu memberinya dukungan tanpa syarat.

“Bagaimana harimu?” tanya Jihoon, suaranya lembut dan penuh perhatian.

Seungcheol menghela napas panjang, mengaduk kopi di depannya dengan sendok kecil. “Sama seperti biasanya. Banyak pekerjaan, rapat, dan tentu saja… tekanan dari keluargaku.” Ia menatap Jihoon, merasakan kekhawatiran yang samar di balik tatapan pria itu.

Jihoon hanya mengangguk, seolah sudah terbiasa mendengar keluh kesah Seungcheol tentang keluarganya. “Aku tahu ini sulit untukmu, Seungcheol. Tapi kau harus tahu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu.”

Seungcheol tersenyum tipis, meskipun ada beban di hatinya yang sulit diungkapkan. “Terima kasih, Jihoon. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dirimu.”

Mereka berdua terdiam, menikmati momen kebersamaan yang sederhana namun berarti. Namun, di balik ketenangan itu, Seungcheol tidak bisa mengabaikan perasaan campur aduk yang muncul setiap kali ia memikirkan Jeonghan. Meskipun ia berusaha untuk melupakannya, wajah Jeonghan terus saja muncul di pikirannya—senyumnya yang tenang, tatapannya yang sulit ditebak, dan cara pria itu menanggapi semua keputusan keluarga dengan sikap yang nyaris tak tergoyahkan. Seolah-olah, tanpa sadar, kehadiran Jeonghan selalu memengaruhi hidupnya, meskipun ia tidak menginginkannya.

Saat malam semakin larut, Seungcheol memutuskan untuk mengantarkan Jihoon pulang. Mereka berjalan bersama di bawah cahaya lampu jalan yang redup, dengan suasana yang tenang di antara mereka. Tetapi, di dalam hati, Seungcheol merasa ada sesuatu yang terus mengganggunya, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

[TAMAT] The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang