29. Eropa

378 37 2
                                    

Pagi itu, ruang kerja Seungcheol terasa lebih sunyi daripada biasanya. Bukan karena tidak ada aktivitas, tetapi karena pikirannya tengah sibuk memikirkan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan secara langsung. Berkas-berkas di meja kerjanya terlihat rapi, tetapi pikirannya justru berantakan, terpaku pada satu gagasan yang terus menghantui: perjalanan bisnisnya ke Eropa.

Di tengah kebisuan itu, pintu ruangannya terbuka perlahan. Jeonghan melangkah masuk tanpa mengetuk, seperti biasa. Mereka telah melewati masa di mana formalitas terasa canggung, terutama setelah semua yang terjadi di antara mereka. Dengan secangkir kopi di tangan, Jeonghan berjalan ke arah meja Seungcheol dengan langkah yang santai tetapi penuh percaya diri. Jas abu-abu yang ia kenakan memeluk tubuhnya dengan sempurna, memberikan kesan bahwa ia adalah sosok yang sepenuhnya menguasai dirinya.

“Kau terlihat sibuk,” komentar Jeonghan tanpa basa-basi, matanya yang tajam memindai dokumen-dokumen di meja itu. Ia meletakkan cangkir kopi di depan Seungcheol, lalu melipat tangannya di dada. “Apa kau bahkan punya waktu untuk minum kopi pagi ini?”

Seungcheol mendongak dari berkasnya, memandang Jeonghan dengan senyum kecil yang lebih mirip dengan ekspresi terpaksa. “Aku selalu punya waktu untuk kopi, terutama jika kau yang membawanya,” katanya, mencoba menyisipkan humor dalam nada suaranya.

Jeonghan tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di seberang meja. “Jadi, ini hari besar untukmu, ya? Keberangkatanmu ke Eropa.” Ia mengangkat alisnya sedikit, seperti menunggu tanggapan yang lebih dari sekadar anggukan.

“Bukan hari besar, hanya perjalanan yang penting,” jawab Seungcheol, berusaha terdengar santai meskipun nada bicaranya sedikit berat. Ia tahu percakapan ini akan beralih ke arah yang ia inginkan tetapi tidak berani memulai.

“Kau benar-benar harus pergi?” tanya Jeonghan, nadanya terdengar seperti keluhan yang dibungkus formalitas. Ia meletakkan cangkir kopinya di meja, sebelum menatap Seungcheol dengan alis yang sedikit terangkat. “Aku masih tidak mengerti mengapa kau harus hadir langsung. Kau bisa saja mengatur ini semua melalui panggilan video.”

Jeonghan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Seungcheol dengan mata yang menyiratkan pemahaman. “Berapa lama kau akan pergi?” tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

“Dua minggu,” jawab Seungcheol pelan.

“Apa ini cara barumu menghindariku, Seungcheol?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tetapi penuh sindiran halus. “Pergi ke Eropa dua minggu tanpa aku. Kau tidak bisa membohongiku—kau pasti sengaja memilih tanggal ini.”

Seungcheol, yang tengah sibuk memeriksa dokumen perjalanan, mendongak dengan alis yang terangkat. “Menghindarimu?” tanyanya, suaranya terdengar pura-pura tidak percaya. Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Jeonghan sebelum melanjutkan. "Kalau kau mau… mungkin kau bisa ikut denganku.”

Pernyataan itu menggantung di udara, membuat suasana di antara mereka berubah. Jeonghan menegakkan tubuhnya, jelas terkejut dengan permintaan itu. “Ikut denganmu?” ulangnya, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Aku punya pekerjaan di sini, Seungcheol. Proyek besar di Yoon Group, aku juga punya reputasi yang harus dijaga sebagai Direktur Strategi Keuangan, ingat?”

“Aku tahu,” jawab Seungcheol cepat, nada suaranya sedikit memohon. Ia bangkit dari kursinya, berjalan mengelilingi meja hingga berdiri di depan Jeonghan. “Tapi proyek itu tidak akan runtuh tanpamu selama dua minggu. Kau punya tim yang hebat, mereka bisa menangani detailnya sementara kau pergi bersamaku. Lagipula, ini bukan hanya soal pekerjaan.”

Jeonghan menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. “Kalau bukan soal pekerjaan, lalu apa?” tanyanya, nada suaranya lembut tetapi penuh keingintahuan.

[TAMAT] The Heirs : Quiet Flames [Jeongcheol]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang