prolog

26 3 0
                                    

Rumah kecil itu sunyi, terbungkus kegelapan malam. Suara pecahan kaca mendadak memecah keheningan, menggetarkan dinding-dinding rapuh. Yerin terbangun dengan jantung berdebar. Ia langsung tahu sumber suara itu. Ketakutan yang begitu akrab merayapi tubuhnya saat samar-samar terdengar teriakan dari ruang tengah. Suara ibunya.

"Sakit..."

Dengan napas tertahan dan tubuh gemetar, Yerin membuka pintu kamarnya sedikit. Dari celah sempit, ia bisa melihat sosok ayahnya yang sempoyongan, berdiri dengan botol pecah di tangannya, wajahnya memerah dalam kemarahan yang mabuk. Di bawahnya, ibunya terduduk di lantai, tangannya gemetar menutupi pipi yang berdarah.

Yerin merasakan kakinya tertahan di lantai. Tapi hati kecilnya memaksanya untuk melangkah maju. Dengan perasaan kalut, ia berlari ke arah mereka.

“Ayah! Tolong hentikan!” serunya dengan suara parau, mencoba mengatasi ketakutannya.

Ayahnya menoleh, mata merahnya menatap penuh kebencian. “Kamu pikir kamu bisa melawan aku, hah?” desisnya, suaranya bagaikan racun yang menyusup ke telinga Yerin.

PRANGGGG

Dalam sekejap, pecahan botol itu melayang, menghantam kepala Yerin sangat sangat keras. Rasa sakit yang tajam menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat dunianya berputar dan berdenging menutupi pendengaran. Pandangannya mulai kabur, kakinya goyah. Setiap suara di sekitarnya terasa semakin jauh, semakin menghilang, terserap oleh kegelapan yang merayap pelan-pelan.

“Kamu hanya bawa sial! Kamu dan ibumu sama saja!” Ayahnya terus memaki, suaranya terdengar seperti gemuruh yang jauh, tapi tiap kata mengiris hati Yerin.

Yerin jatuh berlutut, tangannya yang lemah berusaha menahan rasa sakit di kepalanya, tapi segalanya sia-sia. Kenangan masa lalu yang dulu bahagia mulai mengalir dalam pikirannya—saat ayahnya dulu penuh kasih, saat ibunya dulu selalu tersenyum. Semua itu kini hanya kepingan-kepingan kenangan yang hancur. Ia merasakan kesadarannya perlahan-lahan memudar, tubuhnya semakin lemah, tenggelam dalam keheningan yang pekat dan dingin.

Lalu, segalanya menjadi hening.

---

Yerin terbangun dengan pelan. Tubuhnya terasa ringan, lebih nyaman dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Matahari pagi menembus jendela besar, menghangatkan wajahnya dengan lembut. Ia membuka matanya perlahan, dan pandangannya bertemu dengan langit-langit kamar yang bersih dan putih, dihiasi ornamen-ornamen cantik yang berkilauan terkena cahaya matahari. Ia terkejut. Ini bukan kamarnya.

“Kamu sudah bangun?”

Yerin menoleh kaget. Di samping ranjang, seorang wanita setengah baya berdiri dengan senyum lembut. Wanita itu mengenakan seragam pelayan, wajahnya menyiratkan perhatian yang tulus. Yerin kebingungan. Rasa takut bercampur bingung melingkupi hatinya.

“Di… di mana aku?” suaranya terdengar serak, tidak seperti biasanya. Bahkan suaranya terdengar berbeda—lebih muda, lebih lembut. Dengan mata penuh tanda tanya, ia menoleh ke cermin besar di dekat ranjang. Bayangan di cermin itu membuatnya tercengang.

Di cermin, ia melihat seorang gadis dengan wajah cantik, rambut hitam panjang yang diikat dua, dengan piyama berwarna pastel yang lembut. Ia menyentuh wajahnya dengan gemetar, merasakan kulitnya yang lebih halus dan berbeda dari sebelumnya.

“Apa… ini aku?” bisiknya, hampir tak percaya dengan refleksi di cermin.

Ia memutar pandangannya ke sekeliling kamar. Tempat tidur besar dan empuk, bantal-bantal dengan corak bunga, tirai putih yang menjuntai di sisi jendela besar, dinding-dinding dengan warna pink dan putih yang mewah—semuanya terlihat seperti dunia impian, tempat yang dulu hanya ia lihat dalam majalah.

Wanita di sampingnya tersenyum tipis. “Kamu hanya pingsan. Dokter sudah datang dan memastikan kamu baik-baik saja, Nona Yerin.”

Nama itu… tetap namanya, Yerin. Tapi bagaimana mungkin? Ia tahu, ia seharusnya mati. Rasa sakit di kepalanya tadi terasa begitu nyata, kegelapan itu… begitu dingin dan dalam. Ia yakin bahwa hidupnya telah berakhir.

“Apakah… apakah ini surga?” bisiknya, nyaris tidak berani mendengarkan jawabannya sendiri.

Wanita itu menggeleng pelan, masih dengan senyum lembut. “Tidak, Nona. Ini rumah Anda.”

Yerin duduk, mencoba menyatukan semua yang baru saja terjadi. Ia hidup—di tubuh yang berbeda, di tempat yang asing, di kehidupan yang mewah. Kamar ini, wajah ini, segalanya terasa bagai mimpi yang aneh tapi nyata. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang nyaris terlupakan: sebuah harapan samar yang muncul di hatinya, bahwa mungkin, hanya mungkin, ia punya kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik.

Namun satu pertanyaan besar tetap bergema di pikirannya: kenapa dia ada di sini, dan kehidupan macam apa yang menantinya di dunia baru ini?

AlteritéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang