Marah

494 6 2
                                    

Clara menutup pintu ruangan Lucas dengan perasaan campur aduk antara kecewa dan marah. Ia menatap ke luar jendela lorong sambil memikirkan semua yang terjadi. Sikap dingin Lucas membuatnya merasa terhina, namun di sisi lain, tekadnya untuk mendapatkan hati profesor tersebut semakin kuat. Clara bukan tipe wanita yang mudah menyerah, dan kali ini, dia bertekad untuk membuktikan bahwa Lucas pun tak akan mampu mengabaikan perasaannya begitu saja.

Keesokan harinya, Clara kembali ke kampus dengan tekad baru. Ia memutuskan untuk tidak lagi tampil terlalu mencolok di kelas, namun tetap menjaga penampilan yang anggun dan menarik. Ia menahan diri untuk tak langsung mendekati Lucas lagi, tetapi mulai memanfaatkan pesonanya dengan lebih cerdas. Setiap kali Lucas berbicara, ia memperhatikan dengan penuh perhatian, mencatat setiap kata yang keluar dari mulut sang profesor.

Seiring berjalannya waktu, Clara mulai berhasil menarik perhatian Profesor Lucas. Pada suatu hari, ia menerima pesan darinya: "Ra, datanglah ke ruanganku nanti sore." Clara menatap pesan itu cukup lama, bibirnya menyunggingkan senyum penuh arti. "Kena kau, Lucas" gumamnya pelan, penuh tekad untuk memberikan pria itu pelajaran.

Tepat pukul empat, setelah kelas selesai, Clara memilih untuk kembali ke kosnya daripada pergi ke ruangan Lucas. Ia sengaja membuatnya menunggu, membiarkan profesor muda itu merasakan sedikit ketidaktentuan yang dulu sempat ia rasakan. Di ruangannya, Lucas mondar-mandir, mengerutkan kening setiap kali melihat jam di dinding yang terus bergerak.

"Apa dia benar-benar menolak ajakanku?" desis Lucas, kesal. Tidak terbiasa diabaikan, ia membuka laptopnya, mencari informasi pribadi Clara di database mahasiswa. Ketika akhirnya ia berhasil menemukan alamatnya, sebuah senyum sinis terbentuk di wajahnya.

"Clara, kau tunggu saja," gumamnya. Tanpa menunda, Lucas bergegas menuju kos Clara, membiarkan berbagai skenario memenuhi pikirannya selama perjalanan. Rasa kesal bercampur dengan keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya ada di pikiran Clara.

Sesampainya di depan pintu kos Clara, Lucas menekan bel dengan sedikit kekuatan lebih dari biasanya. Begitu Clara membuka pintu, Lucas melontarkan tatapan tajam. "Kukira kau tak berani menolak ajakanku, Clara," katanya dengan nada penuh ironi.

Clara terpaku sesaat, terkejut dengan kedatangan Lucas yang tak diduga. Ia mencoba mempertahankan ketenangannya, namun tak bisa menahan senyum sinis di wajahnya. "Oh, sekarang kau ingin mendengarkanku, Lucas? Padahal dulu, kau yang pertama kali menolak aku, lantas kenapa aku harus menurutimu sekarang?"

Lucas menatapnya dengan campuran kemarahan dan ketertarikan. Mereka saling menatap tajam, keduanya enggan untuk mengalah. Situasi di antara mereka menjadi panas, penuh dengan ketegangan emosional yang belum terucapkan selama ini.

"Oke, mungkin kemarin aku memang menolakmu," ujar Lucas dengan suara yang semakin tinggi, "tapi kenapa belakangan ini kau selalu mencoba menarik perhatianku, hah?"

Clara hanya tersenyum sinis, matanya menatap Lucas penuh percaya diri. "Kau terlalu percaya diri, Lucas. Aku tidak mencoba menarik perhatianmu. Aku memang semenarik itu," jawabnya dengan nada sombong yang sengaja dipertegas.

Mendengar jawaban Clara yang penuh tantangan, Lucas mengacak rambutnya, merasa kesal karena egonya terusik. Ia mendekat, memegang dagu Clara dengan erat, menatapnya tajam. "Dengar, aku belum pernah ditolak oleh siapapun, Clara. Dan kau tidak akan jadi pengecualian. Paham?" desisnya dengan nada mengancam.

Alih-alih merasa takut, Clara justru tertawa, tawa keras yang penuh ejekan dan mempermainkan Lucas seolah-olah ucapannya hanyalah lelucon belaka. Mendengar itu, wajah Lucas memerah, matanya berkilat dengan amarah yang semakin meluap-luap.

"Jangan paksa aku menyakitimu, Clara!" ancam Lucas, nadanya penuh ketegangan yang membara.

Clara berhenti tertawa, dan tatapannya berubah dingin. Ia tak mundur sedikit pun, malah mendekatkan wajahnya pada Lucas. "Cobalah, Lucas. Lihat seberapa jauh kau bisa melangkah," jawabnya pelan namun penuh dengan ketegasan yang menggetarkan.

Keduanya terdiam dalam ketegangan yang intens, tatapan saling mengunci, menyadari bahwa permainan kekuasaan ini telah membawa mereka ke dalam perasaan yang lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.

Lucas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Baiklah, kau menang. Maafkan aku," ucapnya lirih, suara yang tadinya penuh amarah berubah menjadi rintih.

Clara menatapnya tajam, belum puas dengan reaksi Lucas. "Hah, hanya segitu saja usahamu untuk mendapatkanku, Lucas?" tanyanya, suara sinis terdengar jelas.

Lucas tampak bingung. "Lalu, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku, Clara?"

Clara mendekat, menyipitkan matanya penuh tantangan. "Setidaknya, kau harus membuatku takluk dalam genggamanmu," jawabnya tegas, penuh harapan akan respons yang lebih kuat.

Lucas menghela napas, lalu balas menatap Clara dengan tatapan datar. "Maaf Clara, its not my style." Tanpa menunggu respons, ia merapikan pakaiannya, berbalik, dan berjalan keluar dari kamar Clara, meninggalkannya begitu saja dengan sejuta pertanyaan yang bergema di kepalanya.

Begitu pintu menutup, Clara menggeram frustrasi, memukul bantal di kasurnya. "What the hell, Lucas Dixon!" teriaknya, seolah Lucas masih bisa mendengar. Clara melempar diri ke atas kasur, menatap langit-langit dengan hati yang berkecamuk. "Arghhh!" gumamnya, setengah frustasi, setengah kagum. Entah kenapa, semakin sulit Lucas didapatkan, semakin kuat keinginannya untuk menaklukkan dosen muda yang tampan dan sexy.

Keesokan paginya, Clara datang ke kampus dengan pakaian yang sedikit lebih terbuka dari biasanya. Hari ini, tujuannya bukan kelas, melainkan ruangan Lucas. Ia tahu bahwa dosen muda itu pasti sudah ada di ruangannya, ruangan yang dipenuhi dengan berbagai macam buku yang tertata rapi di setiap sudut.

Tok tok tok, Clara mengetuk pintu, tapi tanpa menunggu jawaban, ia langsung menyelonong masuk. Matanya langsung terpaku pada sosok Lucas yang baru saja selesai berolahraga; kemejanya setengah terbuka, memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang masih bersinar oleh keringat. Seketika, sebuah senyum kecil tersungging di wajah Clara.

"Sexy," gumamnya dengan suara cukup keras hingga Lucas menoleh.

Lucas mengangkat alis, sedikit terkejut melihat Clara tiba-tiba ada di ruangannya, apalagi dengan penampilan yang begitu menarik perhatian. "Clara? Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba tetap tenang meskipun tak bisa menyembunyikan kilatan kejutan di matanya.

Clara melangkah mendekat, tersenyum percaya diri. "Aku rasa sudah jelas, Profesor. Bukankah kau yang bilang ingin berbicara denganku kemarin?"

Lucas menatapnya dengan pandangan yang campur aduk—antara ketertarikan dan kewaspadaan. "Memang, tapi aku tidak menyangka kau akan datang... begini."

Clara mendekat sedikit lagi, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Mungkin sudah saatnya kita berhenti bermain-main, Profesor," ucapnya dengan nada rendah, penuh arti.

Lucas menelan ludah, berusaha menjaga sikapnya. "Clara, aku rasa ini bukan tempat atau waktu yang tepat..."

Namun, Clara hanya tersenyum, semakin yakin bahwa kali ini ia tak akan mundur sampai Lucas menunjukkan siapa yang sebenarnya memiliki kendali di antara mereka.

"Prof, let's make love," ujar Clara lirih sambil menatap Lucas dengan tatapan sendu, penuh harapan.

"Clara, don't be an idiot. Please wake up," bentaknya, suaranya menggetarkan suasana dalam ruangan itu.

"Why? Why, Prof? Am I not sexy enough for you? Am I really that unappealing in your eyes, huh?" Clara berteriak, suaranya penuh dengan emosi yang terpendam.

Lucas, merasa tak ada pilihan lain, menarik Clara dan menutup mulutnya dengan cepat. "Ssshh, jangan berisik," ucapnya pelan, berusaha menjaga suasana tetap tenang. "Clara, kau menarik, tapi bukan dengan cara ini," tambahnya, berusaha menjelaskan tanpa menyakiti perasaannya.

"Fuck you, Lucas!" Clara mengucapkan kata-kata itu sambil meneteskan air mata, rasa sakit dan kemarahan bercampur dalam hatinya. Dia merasa terasing, seolah usahanya untuk mendekatkan diri hanya membuatnya semakin jauh dari apa yang diinginkannya.

Lucas, you are mineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang