3 - Terulang Kembali

1 0 0
                                        

H A P P Y
R E A D I N G

*****

Cia berjalan menyusuri koridor sekolah dengan wajah datar dan tatapan hampa. Tak ada wajah ceria yang ia pasang saat ini, gadis itu sedang dilanda sebuah rasa yang berbeda. Yang membuat jiwanya terguncang hebat oleh candaan semesta yang sangat lucu. Bolehkah ia tertawa? Untuk semua hal yang terjadi di hidupnya. Hidupnya benar-benar hancur tak beraturan, ia bahkan lupa tujuan mengapa namanya ada didaftar sekolah elite itu.

Dipertemukannya lagi dengan seseorang yang pernah menjadi sumber trauma membuat ia bimbang. Ingin sekali membenci orang itu, tapi entah mengapa ia tidak bisa melakukannya.  Ada sebuah rasa yang menahan kebencian hingga kini. Yang ada, ia malah membenci dirinya sendiri karena terlalu munafik.

Dulu, Cia adalah seorang gadis yang penuh dengan semangat untuk mengenal hal baru. Tak pernah takut dengan apapun itu, kecuali Ibu. Ia bahkan pernah menangkap seekor ular dengan tangannya sendiri, saat itu ia masih berusia 10 tahun. Memang terlihat mustahil dan sulit dipercaya, tapi itulah kenyataannya. Cia bahkan dijuluki sebagai 'Maverick'. Bukan sebagai pemberontak, tetapi itu adalah istilah unik seseorang yang berjiwa bebas dan independen.

Namun, sebuah kejadian membuat Cia berubah drastis. Selama dua tahun, ia menjadi seorang yang pendiam dan tak tersentuh. Anti senyum walaupun kepada Ibunya sendiri. Dua tahun ia mengisolasi diri dari rusaknya dunia. Ia bahkan harus home schooling agar tidak ketinggalan pembelajaran. Sampai suatu saat, ia bermimpi sesuatu yang membuat ia kembali bersemangat dan memilih sekolah normal saat memasuki SMA.

Cia mendudukkan dirinya disebuah kursi yang ada di halte. Ia mendongak menatap langit yang terlihat mendung, lalu beralih menatap gedung tinggi yang ada di sebrangnya. Terpampang jelas disana ada tulisan 'UTOPIA HIGH SCHOOL' dengan warna dominan keemasan. Terlihat sangat mewah dan berkelas yang membuatnya menjadi SMA terfavorit di Bandung.

Dengan sangat sabar, Cia menunggu kedatangan Arta yang kini sedang rapat organisasi. Semoga saja laki-laki itu tidak lupa dengan ucapannya saat di UKS tadi pagi. Kalau lupa, ia benar-benar kecewa dengan sikap Arta itu. Bagaimanapun juga, Arta adalah sahabat kecil. Arta tidak mungkin meninggalkannya demi orang yang baru dikenal, kan?

Cia berusaha positif thinking guna menghilangkan kecemasan yang tiba-tiba hadir. "Pulangnya tunggu gue aja, ntar gue anter lo pulang," kalimat yang diucapkan Arta kembali terngiang jelas memenuhi kepala. Ia sangat yakin jikalau Arta tidak mungkin lupa dengan janjinya itu. Ya, semoga saja.

Pada akhirnya, senyum yang sempat mengembang karena mendengar suara motor Arta pun memudar seiring air mata yang kembali menetes. Motor itu keluar dari gerbang dengan dibelakangnya terdapat seorang siswi yang memeluk pinggang Arta erat, seperti sedang menunjukkan bahwa Arta adalah miliknya. Arta yang mengendarai motornya pun tidak menyadari adanya Cia di halte depan sekolah, ia langsung membelokkan motornya dan membelah jalan raya yang sedikit lenggang.

Tak ada yang bisa Cia lakukan kecuali beranjak dari duduknya dan berjalan pulang. Satu tetes hujan menyambut Cia yang melangkah menyusuri jalanan. Ia berjalan dengan langkah pelan, banyak kekecewaan yang ia telan karena tak ada tempat untuk cerita. Saat hujan benar-benar turun dengan deras, disitulah air mata Cia terjun bebas dengan isakannya.

"Gue kecewa, tapi gue gak bisa benci dia! Tuhan... permainan macam apa ini?" seru Cia diakhiri pertanyaan lirih.

Bahunya bergetar seiring kedua kakinya melangkah lebar meninggalkan halte. Rumahnya memang tak terlalu jauh, mungkin hanya butuh waktu 30 menit jika berjalan kaki. Ia bisa saja berlari, tapi banyaknya kejutan yang ia dapatkan hari ini membuat tubuhnya lemas.

***

"Dingin banget, Ta," ungkap Bella seraya menyilangkan kedua tangannya dan menggosok pelan lengan tangan.

Arta yang saat itu duduk disebelahnya pun menoleh sekilas, kemudian melepaskan jaket yang dipakai dan menyerahkan kepada Bella. Pikirannya sedang buntu, ia melupakan Cia. Apakah Cia menunggunya di suatu tempat? Atau Cia sudah pulang bersama temannya? Semoga saja Cia sudah pulang. Pikirannya berkecamuk.

"Arta!" Bella meninggikan suaranya karena melihat Arta yang melamun.

"Eh, kenapa?" tanya Arta linglung.

Bella menggeleng pelan. "Gapapa. Lo lagi mikirin siapa? Sampe melamun gitu," ungkapnya bertanya.

Arta tersenyum. "Bukan apa-apa kok, cuma suasananya aja mendukung buat melamun. Eh, gimana kalo kita ke warung itu aja? Kayaknya makan mie ayam lagi hujan-hujan gini enak nih!" sambungnya memberi usul.

Dengan semangat, Bella mengangguk. "Ayo! Aku kangen banget sama mie ayam Mbok Sari itu," balasnya tak sabar.

Mendengar perkataan Bella membuat Arta membeku, tiba-tiba ucapan penuh antusias Cia muncul dibenaknya. "Iya, Arta! Ayo cepetan ke warung Mbok Sari, gue ngidam berat nih!" teriak Cia saat itu. Arta kembali sadar saat Bella menepuk bahunya pelan. Mereka pun berlari menuju warung Mbok Sari itu dan meninggalkan motor sport berwarna merah didepan halte.

Selepasnya mereka pergi dari depan halte itu, Cia terlihat sedang berjalan sendirian dari arah berlawanan. Wajah gadis itu sudah pucat pasi, badannya bergetar hebat, hingga pusing yang tiba-tiba hinggap tak membuat Cia memilih berhenti sejenak. Ia tetap memaksakan kakinya untuk melangkah. Lagipula, rumahnya sudah dekat dengan posisinya saat ini.

Dengan tangan bergetar, Cia mendorong gerbang bercat putih itu dan segera menutupnya kembali. Ia berjalan lunglai memasuki halaman rumahnya. Terdapat satu mobil asing yang terparkir didepan rumah, hal itu membuat Cia tersenyum kecut. Apakah ia masih sanggup melawan dan menyadarkan Sheila dengan kondisinya seperti ini? Sepertinya tidak.

Tanpa memperdulikan seragamnya yang basah, Cia tetap melangkah memasuki rumah bercat lilac dan putih itu. Saat ia melangkahkan kakinya lebih dalam, samar ia mendengar percakapan diruang santai. Ia mengintip dari balik dinding, disana ada Sheila dan seorang laki-laki tampan yang sialnya ia kenal. Belum reda rasa kecewa yang diberi oleh Arta, ia diharuskan menelan kecewa lagi saat melihat tingkah Ibunya yang benar-benar membuatnya gila.

Ia tak terkejut, ia hanya merasa lelah dengan semuanya. Ia bahkan sering melihat Ibunya dan laki-laki asing bermesraan bebas didalam rumah. Apa yang harus ia lakukan agar Ibunya berhenti? Apa yang harus dilakukan seorang anak saat melihat Ibunya bergonta-ganti pasangan?

"IBU!" teriak Cia menarik perhatian Sheila dan laki-laki itu.

"Apasih, Vena!?" seru Sheila tak mau kalah.

Cia menatap Ibunya yang malah semakin lengket bagai ular keket. "Apasih, cuma manggil doang juga," balasnya. "Nama gue Grecia, bukan Vena! Ingat itu," lanjutnya mengomentari ucapan Sheila.

Balasan Cia sontak membuat Sheila reflek berdiri. Ia menatap punggung putrinya yang sedang berjalan menaiki anak tangga dengan tatapan cengo. "Sayang, aneh gak sih, anak aku?" tanyanya setelah duduk kembali.

"Gak aneh. Itu hal wajar yang dilakukan seorang anak ketika lelah melihat tingkah laku yang baginya membosankan. Sayang, cukup sama aku aja, buang semua simpananmu itu. Aku mau kok nikahin kamu," jelas laki-laki itu seraya mengusap lembut kepala Sheila.

Sheila merenggut. "Masa aku jadi istri kedua? Gak mau ah," balasnya manyun.

"Nanti aku ceraikan istri pertama aku, gimana? Kamu mau gak?" bujuk laki-laki.

"GUE GAK MAU PUNYA PAPA BARU!" teriak Cia dari arah dapur. Entah kapan turunnya, tiba-tiba saja berteriak dari sana. Bahkan membuat kedua pasangan dewasa itu terkejut seraya mengusap dadanya masing-masing.

"TAPI GUE MAU PUNYA SUAMI BARU, WLE!" balas Sheila dengan suara cemprengnya.

Cia yang mendengar balasan sang Ibu pun memajukan bibirnya beberapa centi. Tapi ia tak bisa berbohong jika hatinya senang karena bisa berinteraksi walaupun tidak bertatap muka. Ia menyadari perubahan Ibunya sejak sang Ibu kenal laki-laki itu. Ia senang, tapi kenapa harus laki-laki yang sudah beristri? Ia menyumpah serapah sang Ibu yang tidak bisa menggaet berondong. Padahal Ibunya itu memiliki body yang sempurna, wajahnya cantik, tapi minusnya udah janda aja hehe.

*****

G R E C I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang