"Kala kau merasa sedih lalu terpuruk, ingatlah bahwa kau tidak pernah sendiri. Mereka semua peduli terhadapmu, maka dari itu kau harus menghargainya."
-Gerald Orteva Khaveed
***
Perjalanan menuju Yerland di lalui penuh drama dengan Gerald sebagai tokoh utama dari drama tersebut, sepanjang perjalanan ia selalu berceloteh tentang banyak hal membuat perjalanan panjang semakin panjang saja rasanya. Sedangkan Karl, ia hanya bisa meredam kekesalannya dengan diam, mencoba untuk berdamai bahwa manusia cerewet itu lebih tua darinya.
"Aduh aku lelah sekali," keluh Gerald untuk sekian kalinya. Perjalanan menuju Yerland baru menempuh dua jam, tetapi pria dengan warna rambut cokelat khasnya itu sudah mengeluh lelah ribuan kali.
Sedangkan Karl saat ini tengah berjalan di depannya, remaja itu tidak pernah bersuara lagi setelah terakhir kali ia berkata akan melempar Gerald pada sekumpulan janda. Sepanjang perjalanan, Karl senantiasa memasang wajah dingin membuat banyak pasang mata memandang ke arahnya merasa enggan terlalu lama akibat terintimidasi dengan tatapan Karl.
"Tuan muda apa kau tidak haus? Bagaimana jika kita meminum teh di kedai sana?" Gerald melangkah maju ke hadapan Karl sembari menunjuk sebuah kedai teh ramai tak jauh dari keberadaan mereka.
"Tidak." tolak Karl dengan mengambil langkah di sebelah kanan menghindari pemuda itu.
Gerald menukik alisnya tidak suka, namun ia tidak menyerah. Pemuda dengan mata cokelat itu merebut barang Karl di tangan sang remaja lalu berlari tergopoh-gopoh menuju kedai teh. Ia sesekali menoleh lalu terkekeh senang karena kini berhasil membuat tuan mudanya menuruti keinginannya.
"Hei!" geram Karl tidak habis pikir. Remaja itu hanya bisa meredam kekesalannya lalu mulai melangkah mengikuti Gerald.
"Kenapa paman harus menyuruhku membawanya? Ck," decak Karl sebal.
Suasana kedai teh ini begitu ramai karena pelanggan datang bukan hanya untuk meminum teh melainkan untuk bergosip ria, sama seperti prilaku Gerald, pemuda itu bahkan sudah bergabung di salah satu meja dengan beberapa orang terlihat berkumpul untuk membicarakan sesuatu.
Karl melirik tas di mana barang bawaannya sudah tergeletak mengenaskan di samping pintu masuk kedai teh tersebut. Remaja itu kemudian memungutnya lalu mengambil duduk di meja paling sudut.
"Wah, apa itu benar?!"
Seruan itu membuat Karl mengalihkan perhatiannya ke arah meja sebelah di mana orang-orang tengah heboh membicarakan sesuatu. Ia memicingkan matanya tatkala mendengar bahwa mereka menyebut kata Charleston.
"Itu benar! Aku mendengar ini dari saudaraku setelah ia memberi kabar bahwa temannya hilang di tepi tanah Charleston saat akan mengambil tanaman Cukkan di hutan dekat sana." kata seorang pria paruh baya menggebu-gebu.
Salah satu dari mereka tiba-tiba saja menggebrak meja kasar membuat teh di meja tersebut tumpah membasahi lantai kayu kedai. "Jangan mengada-ada! Charlestonku bukanlah pemakan kobran jiwa!"
Karl mengernyitkan keningnya menatap pria paruh baya itu. Siapa dia?
"Kau tidak bisa lari dari kenyataan, Hermoll! Charleston di pandanganmu adalah puluhan tahun lalu saat dimana mereka belum hancur setelah pembantaian itu!" balas seorang pria lainnya.
Kegaduhan itu hanya menarik sebentar perhatian para pengunjung kedai teh tersebut sebelum mereka kembali pada kegiatannya masing-masing.
"Tuan muda!"
Karl tersentak dari perhatiannya kemudian menatap Gerald tajam saat pemuda itu mengejutkannya. Gerald hanya terkekeh pelan lalu meletakkan dua cangkir teh pesanannya ke meja.
"Tuan muda sedang memperhatikan apa?" tanya Gerald mengikuti arah pandang Karl, ia menyesap teh hangatnya lalu mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti bahwa tuan mudanya itu tengah penasaran.
"Tentang Charleston ya," kata Gerald membuat Karl kembali menatapnya. "Apa tuan muda tertarik dengan tanah iblis itu?"
Kening Karl mengernyit tidak suka mendengar tanah kelahirannya di sebut dengan kata iblis, namun ia memilih diam kemudian menganggukkan kepala membenarkan. "Kau tahu sesuatu?"
Gerald menyugar rambutnya sombong. "Tidak ada satupun hal di dunia ini tidak ku ketahui."
Remaja bermata hijau itu hanya memutar bola matanya malas, jika bukan karena penasaran mungkin Gerald sudah ia jual dengan gratis di kedai ini. "Katakan cepat!" balas Karl tidak sabar.
"Sebelum itu, mari kita bersulang!" Gerald mengangkat cangkir tehnya ke atas membuat Karl mau tidak mau bersulang dengannya.
Bunyi dentingan cangkir terdengar setelah keduanya bersulang. Karl menyesap tehnya sedikit, rasa manis gula dengan rasa khas teh terasa pekat memenuhi mulutnya. Pemuda itu mengernyit heran, teh seperti apa ini?
"Nah, tuan muda, " Gerald meletakkan kembali cangkirnya kemudian dengan serius menatap ke arah Karl. "Kau ingin mengetahui apa tentang Charleston?"
"Sejak kapan berita tentang tanah Charleston pemakan kobran jiwa muncul?" tanya Karl.
Gerald mengetuk-ngetuk jari pada kepalanya, berpikir. "Seingatku berita itu muncul beberapa bulan lalu saat kau masih menempuh pendidikan berpedang. Berita itu muncul saat pertama kali sekelompok pedagang melewati tanah Charleston. Mereka mengambil jalan tengah yaitu jalan melewati Charleston, tetapi sampai sekarang mereka belum kembali dari sana."
"Apa hanya karena itu kalian berpendapat bahwa Charleston adalah Tanah iblis pemakan korban jiwa?" Karl tak habis pikir. Jika karena para pedagang tersebut tidak kembali, bisa saja saat di perjalanan mereka di rampok lalu di bunuh. Jasad mereka kemudian di sembunyikan sampai membusuk.
"Bukan hanya karena itu tuan muda, kejadian serupa kembali terulang beberapa kali dalam sebulan di tanah Charleston. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa penyebab semua itu pasti karena tanah Charleston Kehausan akan darah." jawab Gerald berdasarkan atas apa di dengarnya dari orang-orang kemarin.
"Ck, semua itu hanya omong kosong." kata Karl sebelum meletakkan cangkir tehnya kasar. Pemuda berparas tampan itu kemudian berlalu dengan merangkul tas bawaannya.
"Tuan muda, tunggu!!" Gerald meletakkan 4 koin perak di mejanya lalu berlari menyusul langkah sang tuan muda.
Setelah melewati hiruk piruk pasar tradisional kerajaan Lumbard, keduanya sekarang sudah sampai di pelabuhan Kerfasee, salah satu pelabuhan terbesar di kerajaan Lumbard.
"Tuan muda," panggil Gerald ketika keduanya sudah berada di atas perahu. Pemuda itu sedari tadi hanya diam menunggu kemarahan Karl mereda.
Hening beberapa saat sebelum deheman Karl terdengar. "Hm?"
Gerald tersenyum menanggapi deheman sang tuan muda. Ia bergerak mendekat kemudian berkata. "Aku rasa kau memang benar tentang hal tadi, Tuan muda."
"Tentang apa?"
"Tentang tanah Charleston pemakan kobran jiwa, aku rasa semua itu hanya omong kosong belaka untuk menutupi kejadian sebenarnya," jawab Gerald menerka-nerka. Selain pandai mencari informasi, pemuda bersurai cokelat itu tak kalah lihai dalam menebak suatu keganjalan.
Pernah suatu hari, Gerald merasakan bahwa akan ada hujan di musim kemarau. Setiap orang Gerald beritahu, tetapi tidak ada percaya jika tidak bukti. Hingga keesokan harinya saat waktu menunjukkan siang hari, tiba-tiba saja hujan lebat turun membasahi tanah kering. Tentu saja Gerald takjub dengan kepintarannya dalam menebak itu.
"Begitu tuan muda,"
Karl terdiam tidak ingin membalas segala ocehan pemuda lebih tua darinya itu. Ia lebih memilih membaca buku dengan judul 'Asal Usul Kultivator Iblis' daripada harus meladeni Gerald. Sedangkan pemuda dengan surai cokelat itu semakin bersemangat mengeluarkan segala cerita hebatnya saat meramal suatu kejadian sampai ramalannya itu menjadi nyata.
Perjalanan menuju Yerland ternyata memakan waktu sangat panjang, apalagi dengan ocehan Gerald tentang kepintarannya. Doakan saja semoga Karl tidak jadi mewujudkan niatnya untuk menceburkan sang bawahan ke laut dalam itu.
_o0o_
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
DEMON SWORD OF IMMORTALITY
FantasyPLEASE BE WISE AS A NEW READER!! "A devil cannot take you to heaven, but he can bring heaven to you." --HanySenandy Pembantaian pada malam pengangkatan permaisuri baru Charleston menjadi awal mula kehancuran kekaisaran terbesar sepanjang sejarah. Pe...