"Makasih ma, udah mau bantu jagain Jeremy. Aku pulang tepat waktu kok." Jaemin terus menatap layar ponselnya yang menunjukkan wajah-wajah kesayangannya. Fitur panggilan video sangat membantu dirinya di masa ini, tak perlu gundah bila tak melihat yang sedang jauh di sana.
"Nikmati liburan kalian di sana, toh Jemy juga gak rewel dan anteng. Kayak kamu waktu kecil."
"Hahaha, masa sih ma? Eh, Jemy?"
"Iya, kata nanny nama Jeremy terlalu panjang. Jadi Jemy aja katanya."
Jaemin masih terkekeh seraya mengangguk setuju.
"Ngomong-ngomong, Ica mana? Tidur siang, ya?"
Tubuh Jaemin sedikit tersentak, lalu melirik sebuah pintu kayu tebal yang sepertinya masih tertutup rapat. Buru-buru pria itu mengalihkan pikirannya demi menjaga kekhawatiran sang ibu. "Iya, ma. Dia udah tidur, tadi kita seharian beres-beres vila terus berenang." Bohongnya.
"Oh, gitu. Ya udah, mama mau nemenin Jemy makan malam dulu. Kalian berdua hati-hati, dan kamu jagain istri kamu."
"Iya, ma. Pasti. Mama juga sehat-sehat ya. See you very soon. Thanks, mama."
Panggilan berakhir, dan semburat kebahagiaan di wajah Jaemin perlahan pudar. Tangannya lalu turun untuk menggantung di udara, memandangi kamar yang masih dihuni Jean yang tak kunjung bangun dari lelapnya.
Jaemin memijit ringan pelipisnya yang terasa cukup berat, terus menebarkan rasa bersalah yang terjalin akibat emosi yang tak dapat ia sanggah. Sebenarnya, Jaemin pun baru merasakan dirinya semarah tadi.
Dia hanya tak suka, melihat lelaki sialan itu kembali hadir meski telah pergi jauh dari negara asalnya.
Terdengar helaan nafas yang berat dari mulut Jaemin, dan untuk selanjutnya ia berinisiatif bangkit lalu berjalan menuju kamarnya. Pintu itu tentunya berderit, namun keadaan sunyi sepertinya tak akan pernah berhenti. Tak ada respon sama sekali dari Jean yang terletang di atas ranjang.
Jaemin mendekat, menutup jendela dan menyisakan penerangan di pojok kamar. Pendingin ruangan diturunkan beberapa celcius suhunya, lalu Jaemin merapikan selimut yang Jean kenakan agar lebih nyaman. Selagi melakukan itu, Jaemin tak sengaja menyentuh Jean.
Reflek Jaemin duduk di tepi ranjang, tepat di samping Jean. Tangannya menyentuh Jean lagi, namun kali ini di dahi wanita itu. Kepala hingga tangannya hangat, namun pinggang hingga kakinya dingin.
"Ca."
"..."
"Ica."
Jean menggerakkan wajahnya, merespon Jaemin dengan melenguh.
"Ca, bangun dulu ya? Makan terus minum obat. Kamu sakit."
Jean menghindar dari tangan Jaemin. "Aku cuma mau tidur, tolong ya."
"Tapi kamu belum makan dari pagi."
Jean bungkam, dan sepertinya ingin kembali tidur. Hal ini mengundang rasa bimbang Jaemin, yang beralih meraih tangan Jean. Jaemin menghangatkan jemari itu, dan entah kenapa, setetes air mendadak membasahi tangan Jean. Hal itu membuat Jean sontak membuka matanya, menemukan Jaemin kini tersedu-sedu.
"Kamu kenapa nangis?"
"Gak."
"Gak kenapa?"
Jaemin mengusap wajahnya, lalu menepuk pelan jemari Jean. "Gak apa-apa, kamu istirahat lagi kalau mau. Aku tunggu."
"..."
"..."
"Maaf."
Dalam sekejap, Jaemin dapat menangkap pandangan mata Jean yang baru saja meminta maaf pada dirinya. Hal ini membuatnya semakin sedih, Jaemin semakin pilu. "Seharusnya itu aku, Ca. Aku gagal, aku malah buat kamu ketakutan."
"Na, aku hanya perlu tidur seperti ini. Kamu gak gagal, gak kenapa-napa."
"Kalau bukan karena aku yang seperti tadi pagi, seharusnya rencana kita untuk jalan-jalan akan terjadi hari ini. Bukannya lelah karena liburan, kamu malah lelah karena aku."
Jean menghela nafas, lalu berusaha bangkit untuk berhadapan dengan Jaemin. Wajah Jean begitu lesu, pucat, bahkan rambutnya cukup berantakan meski telah dikuncir. Kali ini ia meletakkan satu tangannya di atas tangan Jaemin, dan tersenyum tipis.
"Semuanya—gak apa-apa, Na."
"..."
"Kalau kamu juga lelah hadapin aku, kamu istirahat. Kita sama-sama istirahat. Jujur, akhir-akhir ini sangat berat, kan?"
Tak ingin terus berbohong, Jaemin akhirnya mengangguk ringan.
"Aku gak tahu harus berkata apa lagi, tapi—"
"..."
"Terimakasih, Na. Aku bahagia sekali selama ini."
Jaemin mengangguk, mengangguk begitu keras lalu meraih tubuh Jean. "Aku cinta sekali sama kamu." Katanya begitu dalam. "Kamu gak perlu menjelaskan semuanya pun aku bisa tahu apa yang mau kamu ucapkan."
"Jangan dibahas lagi, ya."
Jaemin mengangguk sekali lagi, lalu melepaskan rengkuhannya. "Sebelum tidur lagi, makan ya."
"Iya, kalau kamu minta."
Lengkungan tipis terpahat di wajah Jaemin yang akhirnya berpamitan untuk meninggalkan Jean, berniat menggunakan fitur pemesan makanan daring agar memudahkan dirinya. Namun, belum sempat Jaemin menyelesaikan kegiatannya, pintu vila terdengar menyerukan bunyi bel.
Jaemin bingung, berpikir bahwa tempat ini telah dipesannya untuk dihuni selama beberapa hari ke depan. Jika itu adalah pemilik vila, pun ia akan menghubungi Jaemin terlebih dulu sebelum datang.
Bel kembali mendenting, Jaemin akhirnya melangkah untuk melihat siapa yang hadir. Begitu dibuka pintunya, Jaemin menemukan Jung Jaehyun sebagai orang yang sedari tadi menunggu responnya.
To be continue ...