Bab 17

330 31 3
                                    

Ruangan dingin dengan AC sentral itu membuat beberapa orang di sana duduk dengan tidak nyaman. Berkali-kali mereka memperbaiki posisi duduknya sambil memperhatikan seorang pria yang sedang mempresentasikan sesuatu.

"I hope we can survive until the end of this year. My family build this company with their blood and tears. So, there is no one can destroy it."

Kaivan menutup presentasinya, ia melirik ke arah Sandy, sekretarisnya selama di Manchester yang mengetuk jam yang melingkar di tangannya.

"Tomorrow, I will go back to Indonesia," ujarnya memberi tahu.

Seseorang menyela, mengangkat tangan kirinya dan berujar, "why you don't stay here?"

"My life is in Indonesia and I don't think this will diminish my role in this company. I will come when needed and I will go home when everything is done."

Kaivan merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Pria itu, pria tua di sudut meja itu seolah ingin mengatur kehidupan pribadinya. Padahal tiket pesawat murah baginya dan ia akan dengan senang hati datang ke tahan kelahirannya ini untuk membantu.

Kaivan melemparkan tatapan elangnya ke seluruh penjuru ruangan, mengisyaratkan kalau pertanyaan seperti tadi tidak boleh terucap lagi dari mulut para bawahan.

"I think it's enough for today. Thank you."

Kaivan mulai pergi meninggalkan ruangan dingin itu, seketika terdengar gemuruh roda kursi yang bergerak. Semua orang berdiri dan serentak menunduk seiring dengan langkah Kaivan meninggalkan ruangan. Tujuan utamanya kini menyusul Derick, pamannya. Pria tua itu sedang dalam perjalanan menuju kantor cabang yang terletak di pinggiran kota. Kantor itu perlu dihanguskan karena penuh dengan tikus lapar. Motivasi Kaivan mau repot-repot menyusul pamannya tentu untuk pemanasan. Ia perlu merenggangkan ototnya sebelum menghajar perusak rumah tangganya.

"Siapa dia?" tanya Kaivan yang merujuk pada pria tua yang melontarkan pertanyaan lancang tadi.

"He is Carlos, from marketing."

"He acted like he had the power," tutur Kaivan.

Sandy hanya diam tak membalas, ia membiarkan pria yang sedang dalam suasana hati tidak baik itu berujar sesuka hatinya.

Sesampainya di depan gedung, mobil telah menanti. Kaivan langsung masuk ke dalam mobil begitupun dengan Sandy. Mobil itu lantas melesat membelah jalanan Manchester di siang itu untuk menuju kantor cabang.

Masalah di perusahaan paman kaivan ini lumayan serius. Ada oknum yang korupsi dalam jumlah yang besar sehingga menyebabkan keguncangan dalam perputaran uang. Telat sedikit saja, PHK massal akan terjadi dan perusahaan itu pun gulung tikar.

"Sir, Gabriel contacted me and she asked when she could contact you."

"Never. If she wants to deal with me, now she has to go through you."

Sandy mengangguk pelan dari kursi samping kemudi. Ia lantas melaksanakan titah dari atasannya itu untuk membalas pesan yang datang dari Gabriel.

Kaivan kini tidak mau berurusan dengan perempuan manapun. Masalah kemarin belum selesai, ia tidak mau menambah rasa yakin Laurin untuk menceraikannya.

💙

"Arin..."

"Apa kabar Ibu sama Bapak di sana?"  Laurin memandang sendu layar ponselnya yang terus menghitung waktu sejak sambungan telepon itu terhubung.

"Sehat. Arin disana gimana? Suami kamu udah pulang kerja?" Suara yang terdengar hangat itu membuat Laurin ingin memeluk tubuh si pemilik suara.

Laurin tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Lidahnya kelu dan tenggorokannya serasa terhalang sesuatu. Ia sudah menahan tangis sejak pertama mendengar suara ibunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SERAYU RAGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang