"Kenapa diam? Bukannya kamu ingin pergi?" tanya Danendra dengan nada menyindir.
Diaz membeku menghadap pintu. Ia berusaha mencerna kata-kata Danendra yang menyebut kedua orang tuanya. Beragam pertanyaan pun muncul dalam pikiran pemuda itu. Apa maksud perkataan ayahnya Zena tadi? Mengapa dia menyebut orang tua Diaz sudah menjadikannya sebagai jaminan? Jaminan apa yang dimaksud?
Melihat Diaz yang mematung, Zara merasa iba. Ia mendekati suaminya yang masih duduk angkuh di kursinya.
"Sayang, jangan bersikap seperti itu. Bisa-bisa urusannya tidak akan selesai," bisik Zara sambil mengusap bahu pria yang sudah menikahinya hingga 17 tahun lamanya.Danendra menoleh, menatap wajah sang istri. "Dia tidak akan paham jika aku bersikap biasa. Buktinya, dia sudah berlagak tidak sopan seperti itu."
Zara menghela napas panjang. Memang sulit menghadapi suami yang berkarakter tidak mau mengalah, dan sifatnya itu turun sekali pada Zena. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Meski Zara merasa kasihan pada Diaz, tapi dia tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya itu.
"Ya sudah, biar aku saja yang selesaikan hal ini." Wanita bertubuh ramping itu beranjak dari tempat suaminya.
Suara derap langkah kaki dari sepatu heels berwarna hitam yang dikenakannya, terdengar mengisi ruangan yang senyap. Zena dan Danendra hanya bisa membisu, menatap Zara yang berjalan perlahan mendekati pemuda yang masih berdiri di depan pintu.
"Saya tahu kamu sedang bertanya-tanya mengapa suami saya mengatakan hal tersebut," ujar Zara. Jaraknya dengan Diaz hanya berkisar 2 langkah kaki, tidak terlalu dekat, tapi cukup baginya untuk berbicara jelas di posisinya kini.
"Sejujurnya, orang tuamu yang sudah cukup lama bekerja di sini, memang memohon pada kami untuk memasukkanmu ke SMA Nusa yang berada di bawah naungan yayasan kami." Diaz mendengarkan perkataan ibunya Zena dengan seksama.
"Dan seperti yang sudah dikatakan oleh suami saya, memang benar kamu tidak diterima di sekolah itu karena masalah ekonomi keluargamu. Kami khawatir, orang tuamu tidak mampu membayar biayanya hingga lulus nanti. Jadi ...." Zara berjalan mendekati meja kerja Danendra. Ia mengambil sebuah map berwarna biru tua yang terletak di atas meja, lalu kembali menghampiri Diaz.
"Mereka setuju menjadikanmu sebagai jaminan pada kami agar kamu bisa masuk ke sekolah tersebut. Dengan catatan, kamu tidak boleh menolak ataupun mengundurkan diri."
Diaz memalingkan wajahnya, menatap Zara yang berada di belakangnya. Raut wajah wanita itu tidak menampakkan ekspresi apa pun. Tanpa senyum atau emosi lainnya.
"Kenapa saya dijadikan jaminan Anda?" tanya Diaz. Alisnya yang tebal tampak bertaut satu sama lain. Ia ingin tahu alasan di balik kata 'jaminan' yang dimaksud.
"Kedua orang tuamu bilang bahwa mereka tidak sanggup membayar biaya sekolahmu sama sekali. Jadi, kamilah yang membayar semuanya dan memberimu fasilitas, termasuk jika kamu butuh sesuatu, misal barang atau ingin lanjut ke jenjang kuliah, kami sanggup," jawab Zara dengan sangat jelas.
"Tapi, jika sewaktu-waktu kami membutuhkan tenagamu seperti sekarang, menjadi pengawal pribadi Zena, kamu tidak boleh menolak karena jika menolak, orang tuamu harus mengembalikan semua biaya yang sudah kami keluarkan dan mereka harus siap kehilangan pekerjaannya."
Diaz tertegun mendengar ucapan Zara yang rinci. "Jadi, beasiswa yang saya terima itu ...."
"Benar." Kini, Danendra yang menjawab pertanyaan Diaz. "Beasiswa yang kamu dapat itu bukan karena kamu berprestasi di SMP dulu, tapi hanya sekedar sebutan saja agar orang lain tidak tahu yang sebenarnya."
Diaz merasa sekujur tubuhnya melemas. Kini, ia paham arti dirinya dijadikan 'jaminan' oleh orang tuanya sendiri. Tapi, Diaz benar-benar tidak menyangka jika di balik keberhasilannya masuk ke sekolah yang ia impikan itu karena orang tuanya yang memohon pada majikannya sendiri, yakni ayah dan ibu Zena. Lebih menyakitkannya lagi, orang tuanya juga menjadikannya sebagai jaminan agar tidak perlu susah payah mencari uang untuk membayar biaya pendidikannya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
January's Hurt
Romance"Di bulan Januari, kita bersatu. Di bulan Januari pula, kita menjauh." Kenangan indah yang mulai terukir di bulan kelahirannya, Januari, harus pupus di bulan yang sama karena pengkhianatan yang tidak disengaja dilakukan oleh orang yang dicintai. St...