"Kenapa kamu lebih memilih Diaz?"
Githa dan Hardy saling bertatapan muka satu sama lain. Tanpa suara, tanpa kata, hanya nyanyian hujan yang mereka dengar semakin deras.
Keduanya terdiam, satu menanti balasan, satunya lagi bingung merangkai jawaban.Beruntungnya, situasi sunyi yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan yang terjalin hubungan saudara itu tidak membuat orang di sekitarnya memperhatikan mereka. Meski suasana kafe saat ini mulai ramai didatangi pelanggan.
Tak terasa sudah 10 menitan berlalu. Tapi Githa masih belum mengatakan apapun. Kedua tangan yang sengaja dia letakkan di bawah meja, terlihat mengepal. Mungkin karena udara dingin akibat hujan yang telah mengusik tubuhnya, atau kebingungan yang berkuasa dalam nalar telah membuatnya berkeringat dingin seperti ini.
Melihat Githa tidak merespon pertanyaannya, Hardy paham jika gadis di depannya itu tampak ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Git, kita sudah kenal lama dari sejak bayi karena mamamu adik ibuku. Jadi aku bakal tahu semuanya walaupun kamu berusaha keras menutup-nutupi hal tentang kamu."
Githa menunduk. Ia akui, apa yang dikatakan Hardy itu benar. Sebanyak apapun kebohongan yang dilontarkan, dia akan tahu kebenarannya.
Hardy kembali meraih cangkir miliknya. Kali ini ia meneguk minumannya lumayan banyak dan menyisakan seperempat isinya. Setelahnya, dia kembali bertanya pada Githa. "Jujur sama aku, Git. Kamu lagi ada masalah sama Diaz?"
Githa langsung mendongak, "Gak ada, Kak. Aku sama Diaz baik-baik aja."
"Udahlah, Githa, kamu jangan bohong," desak Hardy bersikukuh. "Bilang aja kalo kamu memang lagi ada masalah sama dia."
"Tapi aku emang gak ada masalah apa-apa, Kak. Aku udah berkata jujur ke kakak, kenapa gak percaya?!" sahut Githa dengan nada bicara yang mulai meninggi.
"Kalo kamu memang jujur, kenapa kamu diam waktu aku tanya alasan kamu lebih memilih Diaz dibanding aku?"
Githa terkejut. Kata-kata Hardy serasa menusuk batinnya. Sebenarnya, dia diam bukan karena tidak mau menanggapi pertanyaan itu, melainkan bingung. Isi kepalanya seperti kosong, tak ada kata yang bisa dijadikannya sebagai jawaban pasti. Keputusannya memilih Diaz memang semata-mata karena cinta, bukan karena yang lain. Githa memang benar-benar mencintainya, dari sejak pertama kali matanya melihat pemuda sederhana itu.
Hardy menghela napas. Lagi-lagi Githa tidak memberi tanggapan atas pertanyaannya tadi. Hatinya semakin kalut karena kepastian yang diinginkannya belum didapatkan.
Laki-laki berambut ikal itu menoleh ke arah jendela. Melihat hujan yang ternyata semakin membesar. Seolah si pemilik cuaca paham isi hati Hardy dan memberinya waktu agar kegalauan sanubarinya terjawab.
"Hujan semakin besar," ujar Hardy, masih menatap ke jendela. "Kayaknya kita belum bisa pulang sekarang, Git. Harus nunggu sampai agak reda." Githa mengangguk pelan, lalu melihat ke arah yang sama seperti Hardy.
"Awalnya perasaanku ini hanya sebatas rasa sayang sebagai seorang kakak pada adiknya yang ingin dilindungi," ungkap Hardy, mengutarakan isi hati yang sebenarnya.
"Tapi ternyata, perasaan itu malah justru membesar sampai aku gak bisa mencegahnya dan parahnya hatiku memintaku untuk tidak lagi menganggapmu adik."Githa terdiam, mendengarkan perkataan Hardy yang terlihat serius.
"Aku sudah mencoba berkali-kali menepis kemauan hatiku yang seenaknya. Aku berusaha keras mendekati beberapa gadis lain, mengajak mereka jalan, memberinya perhatian lebih, tapi entah kenapa perasaan ini membuat pikiranku terus membayangkanmu."
Githa terpaku melihat sorot mata Hardy yang terlihat sangat sedih. Dia memang tidak menyangka pemuda yang dia anggap seperti kakaknya sendiri itu mempunyai perasaan yang begitu mendalam. Tapi, mengapa rasa itu justru tidak ditujukan pada gadis lain? Kenapa dia?

KAMU SEDANG MEMBACA
January's Hurt
Romance"Di bulan Januari, kita bersatu. Di bulan Januari pula, kita menjauh." Kenangan indah yang mulai terukir di bulan kelahirannya, Januari, harus pupus di bulan yang sama karena pengkhianatan yang tidak disengaja dilakukan oleh orang yang dicintai. St...