Bab 7

29 15 4
                                        

"Gidan kampret!!"

Gidan tertawa terbahak-bahak mengingat reaksi sang kakak ketika ia melakukan hal konyol padanya. Meski telinganya terasa panas berkat jeweran maut Githa, ia merasa sangat puas karena berhasil menjahili kakaknya itu. Semua orang yang ada di meja makan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku anak lelaki berusia 15 tahun itu.

"Dan, bisa berhenti gak? Berisik tahu!" sahut Gian sedikit ketus.

"Memangnya apa yang sudah kamu lakukan ke kakakmu, Dan?" tanya Garin—ibunya, sambil menyajikan makanan di atas meja.

Belum sempat dijawab Gidan, Githa menyahut cepat, "Dia bohongin aku, Ma. Lebih baik Mama sita motor sama hp dia, biar tahu rasa!"

"Eh, jangan, dong!" Tawa Gidan seketika berhenti mendengar ucapan kakaknya itu. "Kenapa bawa-bawa motor sama hp aku segala, sih?"

"Biarin! Kamu, sih, jadi orang nyebelin banget!" seru Githa tidak mau kalah.

"Nyebelin apaan? Aku 'kan cuma bercanda doang, Git! Kamunya aja yang terlalu serius!" sahut Gidan.

Perdebatan pun terjadi. Suara lantang dari keduanya membuat Garin dan Gian sama-sama menggelengkan kepala. Mereka benar-benar pusing dengan tingkah kedua remaja yang seringkali bertengkar tiap bertemu, meski hal sepele sekalipun. Untungnya, Galang—sang ayah, sudah pergi ke kantor. Jika tidak, bisa semakin ramai seisi rumah, penuh dengan debat yang tiada habisnya.

Ting-tong!

Tiba-tiba, suara bel depan rumah berbunyi. Gian dan ibunya saling berpandangan satu sama lain, bertanya-tanya siapa yang datang bertamu hari ini. Begitu juga dengan dua remaja yang tadi sibuk beradu mulut, kini terdiam karena bingung.

Ting-tong!

Nada bel yang sama kembali terdengar. Gian memutuskan dialah yang akan menemui tamu tersebut. Tanpa kata, dia segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu depan rumahnya.

"Ya, sebentar," sahut Gian sambil membuka pintu. Begitu dilihat, tamu yang dimaksud itu ternyata sepupunya sendiri, yang tak lain adalah Hardy.

"Eh, Dy. Apa kabar?"

Hardy tersenyum. "Baik, Bang."

"Yuk, masuk! Tumben banget kamu pencet bel, biasanya juga masuk sendiri sambil manggil gua atau Gidan," ujar Gian sambil mempersilakan pemuda berambut ikal itu masuk ke dalam rumah.
"Gimana kabar Ayah Ibu lu, Dy?"

"Baik, Bang," jawab Hardy singkat. "Eh, orang rumah pada kemana, nih? Kok sepi?"

"Nyokap lagi di ruang makan nih, bareng adik-adik gua. Kita ke sana aja, ya," sahut Gian, berjalan di depan Hardy yang mengikutinya dari belakang.
"Kalau Bokap ... biasalah suka ada urusan mendadak di kantor kalau weekend gini."

Tak lama kemudian, sampailah mereka berdua di ruang makan.

Gidan menoleh, "Eh, Kak Hardy!" sapanya dengan sangat antusias.

"Oh, rupanya Hardy tamunya, Har," ucap Garin ketika meliha putra semata wayang kakaknya itu datang bersama Gian. "Untung kamu ke sini pas jam makan siang. Yuk, kita makan bareng!"

Hardy tersenyum, "Ah, nggak, Tan, makasih. Tapi, aku udah makan di rumah tadi sebelum ke sini."

"Yah, makan lagi aja, Kak. 'Kan jarak dari rumah Kakak ke sini lumayan jauh, pasti Kakak lapar lagi," timpal Gidan sambil mengunyah makanan. Garin pun mengangguk, setuju dengan ucapan anak bungsunya itu.

"Makasih atas tawarannya, Tante, Gidan, tapi sebetulnya aku ke sini karena ada perlu sama Githa."

Githa terkejut. Dia yang diam bergeming sedari tadi, bahkan sampai Hardy datang tak dia sapa sama sekali, langsung menoleh ke arah pemuda tersebut. Menatap serius Hardy seakan-akan meminta penjelasan maksud perkataannya barusan.

January's Hurt Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang