Bab 1

55 30 27
                                        

"Git," sahut seorang pemuda berpakaian seragam putih abu, sembari menatap dalam mata gadis berambut panjang yang tengah berdiri di hadapannya. Tangan pemuda tersebut perlahan meraih lembut kedua tangan gadis itu.

"Aku suka sama kamu," ujar si lelaki tegas. "Aku pengen kamu jadi pacarku, Githa."

Mata gadis bernama Githa itu sontak membulat sempurna. Ia tidak menyangka jika orang di depannya itu yang tak lain adalah kakak kelasnya yang juga berstatus sepupu, menyatakan perasaan yang lebih dari sekedar saudara. Pikirannya bingung, dia tidak tahu harus berkata apa.

Awalnya, Githa mengira laki-laki berambut ikal itu memanggilnya ke taman belakang sekolah karena ingin membicarakan soal acara kegiatan sekolah yang akan diselenggarakan tiga bulan mendatang. Sebab, Githa memang ditunjuk olehnya sebagai wakil ketua pelaksananya. Namun tak disangka, gadis berusia 17 tahun tersebut justru mendapat pernyataan cinta dari orang yang kini masih berdiri di hadapannya.

"Git, kalau kamu ngerasa keberatan sama omonganku barusan, kamu gak perlu jawab sekarang," ujar pemuda itu.

"Aku tahu, mungkin kamu kaget dengarnya. Tapi aku harap, kamu jangan sampai terlalu dipikirkan. Aku khawatir kamu ngerasa terbebani sampai bikin kamu pusing."

Githa menghela napas sejenak. Mencoba berusaha menenangkan hati dan pikirannya yang diliputi kebingungan.

"Kak Hardy," ujar Githa pelan. "Aku gak nyangka kalau kakak bilang suka ke aku. Tapi, sejak kapan?"

Genggaman tangan Hardy perlahan mengerat. "Aku juga gak tahu pastinya dari kapan, Git. Yang jelas, tiap kali aku ketemu kamu, jantungku langsung deg-degan gak karuan."

Githa semakin bingung sekaligus terkejut mendengar semua penjelasan Hardy. Ia paham betul, Hardy tidak mungkin berbohong ataupun sekedar guyonan belaka mengatakan itu semua, apalagi bersangkutan dengan hal pribadi. Dilihat dari sorot mata laki-laki itu, Githa langsung merasakan kejujuran dan ketulusan dari setiap kata-kata yang telah diucapkannya.

Gadis manis berambut panjang itu kembali menghela napas. Kali ini sedikit lebih panjang dari yang tadi dia lakukan. Hati dan akalnya berkecamuk. Ia sungguh-sungguh dilema, memikirkan kalimat apa yang harus dia lontarkan pada Hardy. Ia takut, jika ucapannya akan membuat Hardy terluka.

"Githa," panggil Hardy lembut. "Kalau kamu benar-benar bingung, anggap aja kata-kataku tadi cuma candaan, oke?"

'Candaan? Kenapa bisa bilang yang tadi itu cuma candaan doang di saat mata kamu bilang serius?' tanya Githa dalam hati. Tapi, dia tidak berani meluapkan pertanyaan itu pada Hardy.

Pemuda itu dengan perlahan melepas kedua tangan Githa yang selama beberapa saat digenggamnya.

"Aku harus pergi sekarang, ya, Git. Sampai ketemu besok lagi!" pamit Hardy sembari berbalik lalu berjalan meninggalkan Githa.

Namun, baru berjalan tiga langkah, Hardy berhenti.

"Oh, ya, aku tahu kenapa kamu bingung pas aku bilang kalau aku suka sama kamu," ujar Hardy sambil melirik sedikit ke arah Githa yang masih berdiri di tempat yang sama.

Githa bergeming mendengar ucapan Hardy yang seolah-olah tahu sesuatu dari dirinya.

Tapi, dia pun penasaran apa yang diketahui oleh pemuda di hadapannya itu.

"Aku sebenernya gak pengen mikirin ini, tapi ngeliat respon kamu kayak gitu, udah pasti karena satu hal." Hardy menoleh,"Karena Diaz, kan?"

Deg! Githa tersentak. Ia kembali terkejut mendengar Hardy menyebut nama Diaz. Bagaimana dia bisa tahu?

Tapi, saat Githa akan menanyakan hal tersebut, Hardy melanjutkan langkahnya dan kali ini tidak lagi menoleh kearahnya.

Lagi dan lagi. Pikiran Githa berkecamuk karena kata-kata pemida yang raganya kini telah menghilang, pergi seolah-olah terhapus oleh dedaunan yang jatuh berguguran deras tertiup angin.

January's Hurt Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang