“Ladies and gentlemen, we have reached a very special moment in this beautiful celebration. With grace and joy, we now have the honor of witnessing the arrival of the bride. Let us all rise and welcome the bride with warmth, happiness, and the utmost respect as she takes her first steps toward her future together."
Mendengar pengumuman dari pembawa acara, Hadirin yang menjadi tamu acara pernikahan di gereja kecil pesisir pantai indah Pulau Jeju itu pun segera berdiri dengan tepukan tangan dan senyum lebar yang tak lepas dari wajah mereka.
Jina melewati kerumunan dengan perasaan haru yang membuncah. Dia memegang lengan Wooshik yang melingkar di tangannya erat karena kakinya yang mulai melemas.
Senyum tipis terukir di wajahnya ketika matanya bertumbuk dengan manik hitam yang berkaca milik sang pengantin pria.
Brian terlihat menyilaukan dengan setelan putih tuksedonya. Pria itu adalah gambaran nyata dari seorang Pangeran berkuda putih yang selalu didambakan gadis kecil dalam buku dongeng yang dibaca mereka.
“Kau harus berjanji untuk selalu membahagiakan Jina”.
Brian menjawab perkataan Wooshik dengan anggukan mantap. Barulah setelah itu, Wooshik dengan enggan menyerahkan tangan Jina kepada Brian sebagai simbol bahwa tanggung jawab Wooshik menjaga Jina sudah diserahkan sepenuhnya kepada Brian.
Ada getaran yang tak tergambarkan ketika tangan keduanya saling menggenggam. Mereka berjalan berdampingan dengan saling melempar senyum, lalu dengan lancar membaca kata demi kata sebagai sumpah mereka untuk selalu bersama di hadapan Tuhan.
Mereka saling menukar cincin sebagai simbol pernikahan, lalu Pemimpin upacara pernikahan mengumumkan bahwa mereka sudah resmi menikah.
“You may now kiss the bride”.
Pengumuman itu membuat keduanya gugup.
Brian menelan ludahnya susah payah. “Bolehkah aku…..?”, tanyanya pelan dengan suara penuh keraguan.
Jina mengangguk sekilas sebagai tanda persetujuan.
Setelah itu, Brian menangkup pipi memerah sang istri dengan tangannya yang besar. Dengan gerakan perlahan namun penuh makna, dia mempersempit jarak keduanya.
Melihat Brian yang mendekat, seketika Jina pun mulai memejamkan mata. Jina terkesiap ketika material lembut yang lembap menyentuh bibirnya.
Waktu seolah membeku. Keduanya tenggelam dalam ciuman mereka, tak lagi menginjak bumi dan hanya merasakan kehadiran satu sama lain.
Brian menggila karena bibir gadis itu lebih manis dari yang dibayangkannya. Untung saja dia ingat jika mereka sedang berada di altar dan disaksikan puluhan pasang mata. Jika tidak, dia mungkin tak akan mau melepaskan gadisnya.
Ciuman murni itu berlangsung singkat dan lembut. Namun, efeknya terasa begitu besar bagi si pengantin wanita.