Bagian Pertama

24 20 0
                                    

Keempatnya duduk dalam keheningan di tengah aula sekolah yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari layar proyektor yang masih menyala. Suara detakan jantung mereka terasa begitu keras di telinga, mengisi ruang yang hening dan tegang.

"Siapa yang mengirimkan pesan itu, Wonyoung?" tanya Sunghoon dengan nada tegas, matanya tak lepas dari layar yang menampilkan gambar wajah mereka berempat. "Apakah ini ada hubungannya dengan video ini?"

Wonyoung menggigit bibirnya, berusaha mengingat pesan yang ia terima sebelumnya. "Aku tidak tahu siapa yang mengirimnya," jawabnya pelan. "Nomor pengirimnya tidak ada di kontakku, dan pesannya... hanya bertuliskan, 'Hati-hati, mereka sudah tahu.'"

“Siapa 'mereka'? Kenapa harus kita?" tanya Taesan, berusaha menenangkan diri meski jelas ketegangan masih terbayang di wajahnya. "Ini jelas bukan kebetulan. Kita terjebak dalam sesuatu yang lebih besar."

Jiwon mengangguk, matanya tajam menatap proyektor. "Aku rasa kita perlu mencari tahu lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua ini. Dan mengapa mereka tahu tentang kita."

"Benar" Sunghoon menimpali. "Kita harus berkoordinasi, jangan sampai ada yang terpisah. Tapi pertama-tama, kita perlu keluar dari sini."

Sekilas mereka saling pandang, mencoba mencari solusi dalam keadaan yang serba tidak pasti ini. Mereka tahu, melarikan diri bukanlah jawaban yang mudah. Di luar sana, mungkin ada lebih banyak bahaya yang menunggu.

"Apakah kalian tahu bahwa ada lebih banyak pintu keluar di sekolah ini?" tanya Jiwon dengan nada serius. "Aku pernah membaca rencana tata letak sekolah ini, dan ada ruang rahasia yang bisa jadi akses keluar yang tak terdeteksi."

Wonyoung mengerutkan dahi. "Ruang rahasia? Di mana?"

Jiwon mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi peta sekolah. "Menurut peta, ada ruang bawah tanah yang jarang digunakan. Dulu, aku pernah mendengar guru sejarah kita mengatakan bahwa itu adalah tempat penyimpanan arsip lama sekolah. Mungkin itu bisa menjadi jalur keluar yang aman."

"Aku tahu tempat itu," ujar Taesan, menyambar ponsel Jiwon. "Di dekat ruang seni, kan? Aku pernah ke sana waktu aku mencari bola basket yang jatuh."

"Benar," jawab Jiwon. "Itu jalur yang aman. Jika kita menuju sana, kita bisa keluar tanpa terdeteksi."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar dari luar aula. Kaki mereka terhenti, seolah seluruh ruang menjadi hampa dalam beberapa detik. Mereka semua menahan napas, mencoba mendengar lebih jelas.

"Tapi, kalau kita keluar sekarang, mereka pasti tahu kita ke mana," Sunghoon berbisik, berpikir keras. "Kita harus berhati-hati."

"Jangan khawatir," kata Taesan, dengan senyum yang tak sepenuhnya meyakinkan. "Aku bisa menangani mereka."

Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, suara langkah semakin mendekat. Tanpa peringatan, pintu aula terbuka dengan keras, dan sosok pria bertopeng yang sama muncul di hadapan mereka, kali ini tidak sendirian. Tiga orang bertopeng lainnya juga ikut masuk.

"Sepertinya kalian memutuskan untuk tidak mendengarkan," kata pria bertopeng pertama dengan suara dingin. "Kalian tidak akan bisa lari dari ini."

"Kenapa kami?" tanya Wonyoung, berusaha menahan ketakutan di suaranya. "Apa yang kalian inginkan dari kami?"

Pria itu hanya tertawa pelan, lalu melangkah maju. "Semua akan terungkap pada waktunya. Tetapi, tidak ada yang bisa melarikan diri dari takdir mereka. Kalian terpilih, dan kalian harus menerima konsekuensinya."

"Kenapa terpilih?" Wonyoung mendesak, mencengkeram lengan Sunghoon, yang kini terlihat lebih siap menghadapi bahaya.

Pria bertopeng itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada dua orang lainnya untuk mendekati mereka. "Kami tidak punya banyak waktu untuk berbicara. Kalian akan segera tahu lebih banyak. Tapi pertama-tama... kalian harus lulus ujian ini."

Dengan gerakan cepat, salah satu pria bertopeng menarik sebuah alat dari balik jaketnya. Itu terlihat seperti senjata tumpul, sebuah tongkat besar yang tampaknya dirancang untuk mengalahkan musuh tanpa melukai secara serius.

Seketika, suasana menjadi lebih tegang. Taesan segera bersiap untuk melawan, sementara Sunghoon menyiapkan kunci cadangannya. Jiwon mulai mundur perlahan, mencari jalan keluar yang tidak terdeteksi.

"Tunggu!" teriak Wonyoung, berusaha berpikir jernih. "Apa yang kalian inginkan? Apa yang terjadi di sekolah ini?"

Pria bertopeng pertama menghentikan langkahnya dan menatap Wonyoung dengan tajam. "Semua ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar. Kalian harus berhadapan dengan kenyataan yang sudah lama terkubur."

Sebelum mereka bisa menanyakan lebih lanjut, pria bertopeng itu memberikan isyarat pada teman-temannya untuk bergerak lebih cepat. Sebuah pertempuran tak terhindarkan, dan mereka tahu itu adalah saat yang menentukan. Wonyoung, Sunghoon, Taesan, dan Jiwon harus bekerja sama untuk bertahan hidup dan menggali misteri yang telah mengikat mereka dalam permainan berbahaya ini.

Mereka tahu satu hal: pertempuran ini baru saja dimulai, dan kebenaran yang tersembunyi jauh lebih kelam dari yang mereka bayangkan.

[✓] Veil of SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang