Prolog - (Surat Untuk Januari)

56 29 13
                                    

*~*~*~*

Teruntuk,
Bulan penuh kenangan,
Januari

***

Hai ....

Apa kabarmu?

Apa semuanya baik-baik saja?

Apa situasinya kembali seperti semula?

Kuharap, kamu menjawab iya.

Sungguh-sungguh berharap jawabannya sesuai dengan harapan.

Harapanku, tentunya.

Ya, meskipun sempat terpikir olehku tentang semuanya.

Tentangmu ....

Tentang mereka ....

Bahkan ... tentang dia.

*

Jangan khawatir, aku baik di sini.

Walaupun cuacanya saat ini lumayan dingin, sampai-sampai aku harus memakai sweater tebal dan kaus kaki berbahan wol, meski berdiam diri di apartemenku, seperti yang sedang kulakukan sekarang.

Kamu tahu, aku sedang apa?

Jika tebakanmu aku sedang minum kopi, sambil melihat ke luar jendela, kamu benar.

Ya, aku sedang melakukannya sekarang.

Tapi tenang saja, jendelanya kututup sempurna.

Agar dinginnya angin tidak masuk dan menerpa tubuhku.

Bisa-bisa, aku kena flu. Haha!

*

Januari, bolehkah aku bertanya?

Sebenarnya, benarkah aku melakukan ini?

Atau justru salah?

Jika kamu tahu jawabannya, beri tahu aku, ya. Seperti biasa.

Tenang, aku percaya padamu.

Aku akan selalu percaya padamu.

*

Januari,

Aku ....

Aku rindu.

Aku rindu mereka.

Aku rindu semua orang yang menyayangiku.

Aku rindu mama papa,

Aku rindu Kak Gian, meskipun dia selalu bersikap terlalu tegas, tapi aku tetap rindu dia.

Aku juga rindu adikku, Gidan, meskipun dia selalu mengganggu, jahil dan licik jika berurusan dengan makanan, tapi aku tetap rindu sifat tengilnya itu.

Aku juga rindu mereka berdua, Reni si paling penasaran, si paling pintar, dan si paling gampang cemas,

Fira si paling baper, sok tomboy tapi gampang luluh jika didekati cowok ganteng, dan si paling tahu segalanya seperti mata-mata.

Kak Hardy? Ya, aku sedikit merindukannya juga, terutama rindu akan perhatian kecilnya padaku.

*

Januari,

Sejujurnya, aku bingung.

Aku bingung dengan diriku sendiri, tepatnya isi hati dan pikiranku.

Kala hatiku sedih, pikiranku tidak menyuruh mataku berkaca-kaca.

Kala hatiku bahagia, pikiranku tidak meminta bibirku mengukir senyum.

Kala hatiku marah, pikiranku juga tidak membuat tanganku mengepal kuat.

Tapi, giliran hatiku biasa saja, pikiranku justru melayang kemana-mana.

Heran? Aku pun merasa demikian.

*

Januari,

Sebelum aku pergi ke alam bawah sadarku, aku ingin mengucapkan sesuatu.

Terima kasih.

Ya, aku berterima kasih padamu.

Alasannya? Apa, ya?

Sebenarnya tidak ada alasan khusus di balik ucapan terima kasihku. Hanya kata ungkapan biasa saja.

Namun, jujur saja.

Berkatmu, aku mengerti.

Aku paham, semua hal.

Semua yang indah, tidak akan selamanya indah.

Semua yang sedih, tidak akan selamanya sedih.

Jadi, jangan terlalu berharap, pada sesuatu yang tidak selamanya sesuai keinginan.

Terkadang, harus siap jika kenangan manis pasti akan ada pahitnya. Begitu pula sebaliknya.

*

Sekali lagi, terima kasih, ya.

Dan, satu lagi.

Tolong sampaikan terima kasihku juga padanya.

Ya, kamu tahulah maksudku siapa. Tak perlu aku sebutkan.

Jika dia bertanya mengapa aku berterima kasih, jawab saja:

"Karena kamu pernah membuatku bahagia, walau hanya sekejap."

***


Salam hangat dari secangkir kopi yang mulai mendingin,
Maghita Yudhistira

*~*~*~*

January's Hurt Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang