8. Bucis = Bule Prancis

3 0 0
                                    

Ana dan Kiran terdiam, kedua wanita itu saling melempar arah pandang. Karena pada kenyataannya, pekerjaan yang mereka lakukan itu pada malam hari.

Ana menelan salivanya yang saat ini tiba-tiba terasa cekit. "A-ana, mulai kerjanya besok," ucap Ana.

"Kalo Kiran, kebetulan minggu ini kebagian sift malam." Kiran ikut bersuara.

Sarah tersenyum. "Semoga lancar selalu, ya."

Ana dan Kiran serempak menganggukkan kepalanya. Mereka berdua telah berucap kebohongan. Ana berharap setelah ini, ibunya tidak bertanya perihal barang yang dibeli Ana.

Sarah tak banyak berbicara, sementara Ana ia membantu ibunya untuk duduk dan menyantap buah pemberian Kiran.

Setelah suasana tenang, Ana menghampiri kedua adiknya yang sedang fokus mengerjakan pekerjaan rumah. Ana memperhatikan kedua adiknya sekilas yang tampak kompak bekerja sama mengerjakan tugas sekolah.

"Nanda, Nindi," panggil Ana.

Kedua adiknya langsung menoleh saat namanya dipanggil. "Kenapa, Kak?" Nanda bertanya.

"Kakak ada beli sesuatu buat kalian." Ana tersenyum.

Nindi terlihat sumringah dengan mata berbinar. "Apa tuh, Kak?"

Nanda terlihat sinis dan menyiku Nindi. "Sabar."

Ana terkekeh melihat tingkah adiknya yang begitu menggemaskan. Lalu, lengannya terangkat untuk mengambil paper paper bag yang sebelumnya telah Ana simpan. Ia memberikannya pada Nanda dan Nindi.

Nanda menerimanya, lalu Nindi mengintip isi dari paper bag yang Ana berikan. Kedua adiknya terdiam sejenak, tangan Nanda mengeluarkan dua buah kotak ponsel di dalamnya. Nanda dan Nindi saling melempar tatapan, mereka terkejut sekaligus bingung dengan hadiah yang Ana berikan.

"Kenapa diem aja? Kalian suka engga sama hadiahnya?" tanya Ana dengan senyuman yang tercetak di wajah cantiknya.

"Ini beneran, Kak?" Nanda memastikan.

Ana hanya menganggukkan kepalanya.

"Tapi, apa ini gak berlebihan? Kakak juga 'kan punya kebutuhan," tutur Nindi.

Ana mengusap pucuk kepala kedua adiknya. "Tenang aja, jangan pikirin Kakak. Bukannya kalian butuh handphone buat sekolah?"

"Tapi satu handphone aja cukup, kita bisa sharing," sanggah Nanda.

Ana menggeleng. "Udah ambil aja, anggap aja ini hadiah dari Kakak karena kalian selalu jagain ibu setiap Kakak pergi. Ditambah lagi, setelah mulai kerja Kakak bakal tinggal di mess kantor."

"Jaga ibu kewajiban aku sama Nanda sebagai anak, padahal Kakak simpen aja uangnya buat Kakak." Nindi berkata dengan mata berkaca-kaca.

"Bener kata Nindi, Kak. Kakak pasti lebih butuh."

Ana memeluk kedua adiknya. Hatinya terenyuh mendengar ungkapan kedua adiknya. Ana, ia sebisa mungkin menahan tangisannya. Kedua adiknya benar-benar memedulikan keadaan, mereka adalah anak-anak baik. Ana bersyukur memiliki kedua adik seperti Nanda dan Nindi.

"Tenang aja, mulai sekarang Kakak akan berusaha buah penuhi kebutuhan kalian. Kakak juga bakal berusaha buat terus cari uang biar kalian bisa sekolah," ungkap Ana.

"Kalian harus semakin semangat belajarnya, Kakak yakin dengan handphone yang Kakak beli buat kalian, bakal kasih manfaat besar buat kalian."

Kedua adiknya menganggukkan kepalanya bersamaan. "Makasi banyak, Kak. Maaf udah ngerepotin." Nindi bersuara.

"Iya, Kak. Makasi banyak banyak banyak banget," timpal Nanda.

"Sama-sama." Pelukan Ana terlepas.

Ana kembali beralih pada ibunya yang sedari tadi memperhatikan interaksi anak-anaknya. Sorot mata Sarah terlihat sendu, ia merasa menyesal karena tak bisa bekerja lebih keras untuk anak-anaknya semasa sehat.

Money Talk (18+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang