Pukul 21.45 Taekim mengajakku ke sebuah restoran dengan view yang sangat bagus. Kerlap-kerlip lampu kota yang tak akan pernah mati, tempatnya pun ramai, dan nuansanya begitu romantis. Makan malam kami pun ditemani backsound musik klasik yang agak membuatku sakit kepala, tapi Taekim justru terlihat menyukainya.
Rata-rata pengunjung tempat ini memiliki pasangan. Telingaku dipenuhi oleh percakapan-percakapan asing yang tentunya tidak akan pernah aku mengerti, sementara Taekim sedang memilihkan menu makanan. Dia tidak menanyakan padaku apa yang ingin kupesan, aku rasa dia paham bahwa aku tak akan bisa memilih, seperti aku yang tidak akan bisa membuat pilihan saat bersamanya.
Selagi Taekim sibuk dengan urusannya, maka aku membuka ponselku lagi, karena sejak tadi aku berkirim pesan dengan Jimin. Dia barusan mengirimiku video dari tempatnya, dia seperti baru bangun tidur saat ini. Karena perbedaan waktu Seoul dan Paris itu delapan jam, dan di sana mungkin matahari baru akan terbit. Wajah mengantuk Jimin hampir membuatku kelepasan tertawa. Dia sangat menggemaskan.
"Nona Shin, Jiminie rindu," ia mengatakannya dengan nada jenaka membuatku harus memelankan volumenya untuk memastikan bahwa Taekim tidak mendengar. Sesekali aku melihat pria itu yang masih memegang buku menu.
Aku pun lantas membalas dengan mengetik,
To Jimin
Dasar jelek.
Jimin
Aku tampan.
Jimin
Cepatlah kembali. Banyak hal yang harus kita lakukan. Berapa lama lagi kau akan di sana? apa yang Taekim lakukan? Apakah dia masih marah?"
Aku tertegun ketika dia menyinggung perihal Taekim yang mengatakan bahwa pria itu tidak membutuhkan bantuannya lagi, dan Jimin sudah memaklumi.
Jimin
Aku hanya memberikan bantuan kepadanya, tapi ya, kau tahu, kan? Dia benci dibohongi, walaupun kau adalah pengecualian.
Jimin
Shin Naya, kau harus hati-hati.
Bertepatan saat aku hendak membalas pesannya, Taekim pun selesai memesan, dia menyerahkan buku menu kepada pelayan yang setia berada di dekat kami, untuk menuliskan pesanan yang diajukan.
Pelayan perempuan berambut blonde dengan hidung yang teramat sangat mancung. Matanya besar dan dia punya tubuh yang sangat elok. Ah, dia juga tinggi. Kalau dibandingkan denganku, aku hanya sebatas dadanya. Iya aku pendek. Taekim tak salah mengejekku begitu.
Ketika pelayan itu pergi, aku melihat Taekim mengambil beberapa lembar tisu di hadapannya kemudian dia menggunakannya untuk menyeka tangan dan membersihkan meja di depannya. Padahal, aku jamin, bahwa meja di mana kami berada sudah sangat bersih dan rapi, pun sudah cukup mengkilap, bahkan kurasa aku bisa meletakkan makananku di sana tanpa alas, tetapi sepertinya, itu tak cukup bagi Taekim.
Dia terlihat begitu menjunjung tinggi kebersihan, sementara aku? Aku harap dia bisa melupakan penampilanku yang katanya mirip seperti gelandangan yang putus cinta kala itu. Mendadak mengingat hal itu membuat batinku menjerit. Aku menyadari bahwa aku mulai paham dirinya semakin jauh.
Ponselku kembali berdenting, sebuah pesan masuk dari Jimin, yang membuatku tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
Jimin
Setelah jauh begini, aku pikir aku
sadar, kalau sangat mudah
bagimu membuatku merindukanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE SCENARIO [lengkap]
FanfictionJudul sebelumnya: Filter Shin Naya ditantang Jimin untuk membuat si billioner Taekim sembuh dari trauma. Sebagai imbalan Jimin harus putuskan pacarnya. Namun skenario mereka berantakan ketika Taekim benar-benar jatuh cinta dan dia menuntut Naya atas...