Pagi ini, (Nama) baru saja menyelesaikan kelas matematikanya. Kelas matematikanya tidaklah sesulit apa yang dibayangkan (Nama) pada benaknya. Soalnya, sewaktu (Nama) masih menghuni panti asuhan di sisian sungai Thames, (Nama) kerap kali menjumpai mahasiswa Oxford di kawasan perdagangan kapas, teh dan tembakau; mereka mencari fenomena sosial, dan menelitinya. Mereka kerap kali meninggalkan sampah kertas dengan corat-coret membingungkan. (Nama) tidak selamanya mengerti apa maksudnya, karena rumusan angkanya kompleks, banyak, membingungkan, dan dikait-kaitkan dengaan statistika, (Nama) berkesimpulan, matematika orang dewasa pasti sulit dipahami.
Di kastel ini, Kakek Retak'ka memanggilkan guru, lulusan University of Saint Andrews. Si guru panggilan melatih cucu-cucu Kakek Retak'ka untuk mengelola manor dalam hitungan akuntansi mikro, serta sedikit mengenai geometri dan aritmatika.
Namun, setelah si guru pulang, dan kelas matematikanya dibubarkan, (Nama) dan beberapa sepupunya yang masih memiliki minat belajar tak lantas pergi dari gazebo. (Nama) menceritakan dengan bangga, bahwa Taufan memanggil namanya, meski suaranya serak, seperti tertahan di ujung lidah.
"Iya. Dia mengatakannya." (Nama) mengangguk. "Dia menyebutkan namaku."
(Nama) melirik sebentar pada Taufan. Taufan juga dibawanya kemari untuk mengikuti kelas, karena (Nama) ingin menjadikannya bahan presentasi. Taufan terlihat kembali murung dan tidak responsif; kelihatannya, dia tidak menyukai atmosfer kelas matematika, dan kelas matematika rupanya menyerap energi positif yang capek-capek Taufan kumpulkan untuk bertemu dengan dunia.
"Dia secara spesifik memanggil namamu, atau dia bergumam tidak jelas dan kamu menganggapnya dia mengeja namamu?" Merasa pernyataan itu tidak masuk akal, Solar lekas saja bertanya. "Di setiap libur musim panas, aku selalu pergi ke kastel Woodbridge ini untuk menikmati pemandangan tidemill dan kincir anginnya, bersama sepupu lain. Dan dalam pengelihatanku, Taufan selalu berusaha merespon dengan gestur tubuh, atau merintih, atau ... mengerang, mengekspresikan sakit, namun sebatas itu saja. Tidak lebih."
(Nama) mengangkat bahu, "dia memanggil aku. Dengan jelas."
Taufan menatap ke meja pada gazebo di depannya.
Taufan risi. Sepupu-sepupunya berdebat lagi. Mereka sering adu bicara, dan hanya akan selesai jika Paman Bora Ra datang, lalu memarahi semua pelakunya, kemudian menghukum provokatornya dengan mengerjakan soal matematika. Karena Taufan terbiasa berada di antara badai angin, Taufan tak memprotes banyak. Dia memutuskan untuk menulikan telinga, dan memfokuskan perhatiannya pada indera pengelihatan.
Di meja itu, Taufan melihat adanya buku tipis yang dibuat dari kulit rusa dengan pencetakan offset. Itu buku matematika. Taufan tidak suka matematika murni. Taufan sebatas tertarik pada matematika terapan, yakni tentang bagaimana matematika membantu kehidupan manusia sehari-harinya.
Taufan merindukan meneroka buku-buku ringan dan membacanya sampai sumbu lilin di kamarnya habis terbakar. Hari-hari itu, hari dimana anggota geraknya tidak bermasalah dan pikirannya tidak hancur, amat indah dikenang.
Taufan dulunya ceria. Dia sering pergi ke Woodbridge karena orang tuanya berkarir di bisnis pelabuhan Woodbridge dengan menyewa-nyewakan kapal pengakut barang, dan bisnis itu perlu diurus serta dipantau. Alhasil, Taufan sering diajak pergi kemari. Taufan anak laki-laki. Dia dibebaskan main asalkan tidak pulang terlalu sore, dan tidak mengotori pakaiannya. Taufan sering mengunjungi pantai, jauh dari dermaga dibangun.
Dia akan ke pantai, sendirian, menatap matahari tenggelam di lautan sambil mendudukkan bokongnya di pasir putih.
"Kamu salah dengar." Solar menimpali (Nama).
"Tidak, tidak, tidak, Solar, tidak," tidak mau mengakuinya, (Nama) mengelak dengan kasar. Taufan terkesiap. Bayangannya mengenai masa lalunya luruh seketika, ketika (Nama) berdiri, dan sepertinya hendak mengajak Solar ribut-ribut. "Aku banyak bicara padanya. Mungkin dia mulai menghargai aku. Mungkin demikian. Aku sungguh konselor yang mumpuni. Jangan puji aku, Solar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Taufan x Reader| Retakka's Family
Fanfiction|Taufan x Reader | Keluarga itu hampir menyentuh kata sempurna. Sebagai anak jalanan yang biasa hidup mengandalkan belas kasih dari para bangsawan dermawan, (Nama) cukup terkejut karena tiba-tiba, dia diadopsi oleh keluarga bangsawan. Hidupnya berub...