[STORY 11]
[GENRE: ROMANCE - MARRIAGE LIFE]
Blurb:
Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
⚖️⚖️⚖️
Entah apa yang dibicarakan, tetapi acara selesai pukul dua belas siang. Setelah laki-laki kedua tadi stand up comedi di depan ratusan mahasiswa baru, banyak sekali para mahasiswa yang menunjukkan ektrakurikuler dan sekaligus promosi.
Ada banyak, seperti musik, tari, basket, taekwondo, keagamaan, dan lainnya. Namun, entah kenapa aku sama sekali tidak tertarik untuk ikut ekstrakurikuler. Kalau Baim, dia mendaftar ke ekskul basket, hahaha dia memang suka sekali basket dari SMP.
Eja? Dia ikut ekskul musik. Gitar adalah alat musik kegemarannya. Sayangnya, dari duduk di bangku kuliah, dia enggan ikut ekstrakurikuler. Padahal, banyak yang mengajaknya gabung di ekskul musik, tetapi dianya yang memilih malas-malasan bahkan bolos denganku.
Kenapa, ya, tidak ada yang menarik di mataku? Satu pun tidak ada. Untungnya, semua ektrakurikuler masih membuka pendaftaran sampai lusa, barangkali ada lagi yang berminat gabung.
Nanti sajalah aku tanya Kak Julian. Siapa tahu dia ada saran aku harus join ekskul yang mana, karena saat ini aku pun bingung.
Saat ini kami di depan gedung kampus. Hendak bersiap untuk pulang. Aku harus pulang ke mana?Kak Julian sedang bekerja, jika aku pulang ke rumahnya, bisa-bisa habis aku di-tatar oleh mamanya. Mau pulang ke apartemen Oma pun sepertinya aku belum siap.
"Nongkrong aja dulu, yuk?" ajakku pada mereka. Mereka berdua yang tadinya berjalan santai langsung berhenti.
"Nongkrong? Emang lo nggak dimarah mertua lo kalo keluyuran?" tanya Baim. Justru itu, aku malah ingin nongkrong agar terhindar dari si Nenek Lampir.
"Yuk, mau ke mana, Je?" sahut Eja tanpa bertanya alasan mengapa aku memilih nongkrong saja.
"Kafe biasa aja," jawabku.
"Yuk, gue bonceng aja, Je. Im, lo bawa mobil sendiri aja, biar Jeje sama gue," ucap Eja pada Baim. Aku, sih, terserah saja jika berangkat dengan siapa.
"Iya, deh, yang mau berduaan. Sono lu berdua, hus ...," ucap Baim dengan nada seperti mengusir itu.
"Apaan, sih, nggak jelas lo," cibirku. Aku dan Eja kemudian ke arah parkiran motor, tepat di mana motor Eja terparkir.
Ah, iya, aku sampai lupa belum mengabari Kak Julian jika aku tak langsung pulang. Pun aku tak bertanya dia pulang kerja jam berapa. "Ja, pelan-pelan," ucapku pada Eja yang membawa motornya sedikit cepat, rambutku yang tadinya diikat jadi tergerai karena tali rambut sampai terbang. Malasnya naik motor, ya, begini. Rambut acak-acakan dan tidak bisa menikmati perjalanan. Ralat, naik motor dengan Eja maksudnya.
"Ini juga udah pelan, Je, biar cepet nyampe, pegangan aja." Eja malah semakin mempercepat laju motornya, tetapi beberapa detik kemudian, dia mengarahkan tangan kiriku untuk melingkar di perutnya. Otomatis aku pun memeluk Eja karena takut.