Happy reading.
.
.
.
.Adel menatap kedua anak perempuan itu dengan lembut. "Nah, kalian belum memberitahu Ayah nama kalian. Siapa nama kalian?"
Namun, bukannya menjawab, kedua anak itu malah kembali menangis. "Hiks, Ayah bahkan tidak tahu nama kami!"
Adel merasa bersalah melihat mereka menangis lagi. "Maafkan Ayah, anak-anak. Ayah memang tidak tahu nama kalian. Tapi Ayah akan berusaha menghafalnya, oke?"
Ia mencoba tersenyum menenangkan, meskipun dalam hati merasa bersalah karena memang benar-benar tidak mengetahui identitas mereka.
"Jangan menangis lagi. Coba ceritakan pada Ayah, siapa nama kalian?" pinta Adel dengan sabar.
Akhirnya, salah satu anak perempuan itu menjawab di sela isakannya. "A-adikku namanya Ella... d-dan aku Cellie."
Adel mengangguk pelan. "Ella dan Cellie ya... Baiklah, Ayah akan mengingat nama kalian mulai sekarang."
Dalam hati, Adel mengakui bahwa ia memang benar-benar tidak tahu siapa anak-anak ini. Tapi demi menenangkan mereka, ia terpaksa berbohong.
"Nah, sekarang kalian jangan menangis lagi, oke? Ayah ada di sini bersama kalian," ucap Adel lembut, mengelus pelan rambut kedua anak itu.
Ella dan Cellie perlahan berhenti menangis. Mereka menatap Adel dengan pandangan memuja, seolah Adel adalah satu-satunya sosok yang bisa melindungi mereka.
Adel menghela napas. Ia masih sangat bingung dengan situasi ini. Tapi sebagai seorang dewasa, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga anak-anak yang entah bagaimana caranya sekarang berada dalam pengasuhannya.
"Baiklah, ayo kita pikirkan apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Tapi yang penting, kalian aman bersama Ayah sekarang," ujar Adel berusaha meyakinkan.
Ia harus mencari cara untuk memecahkan masalah ini dengan bijaksana. Entah bagaimana, Adel harus melindungi Ella dan Cellie dari situasi yang tidak diinginkan ini.
Adel teringat bahwa ia harus segera berangkat kerja, namun kehadiran Ella dan Cellie membuatnya bingung. Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan anak-anak ini sendirian?
"Anak-anak, Ayah harus segera pergi bekerja. Apa kalian akan baik-baik saja di sini tanpa Ayah?" tanya Adel dengan nada lembut.
Namun, begitu mendengar Adel akan pergi, Ella dan Cellie langsung menatapnya dengan panik.
"Jangan pergi, Ayah! Kami takut kalau Ayah meninggalkan kami lagi!" seru Cellie, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Ella mengangguk cepat. "Iya, Ayah. Jangan pergi, kami mau tetap bersama Ayah!"
Adel merasa bersalah melihat ketakutan di wajah anak-anak itu. Ia tidak ingin membuat mereka sedih, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa absen dari pekerjaannya.
"Tapi, Ayah harus pergi bekerja, anak-anak. Kalian tidak bisa terus-menerus bersama Ayah," jelas Adel mencoba menenangkan.
Namun, Ella dan Cellie semakin keras menolak. Mereka memeluk Adel erat, tidak ingin dipisahkan.
"Tidak mau! Kami mau tetap bersama Ayah!" rengek Ella.
Adel terlihat panik. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Tapi melihat ketakutan di mata anak-anak itu, hatinya terasa teriris.