Warna warna pastel menghiasi kamar berukuran 3 x 3 meter. Di sudut kamar itu, seorang anak perempuan berusia 6 tahun sedang bercermin, duduk manis memandangi rambut panjangnya yang sedang dikepang dua oleh sang ibu. Bibir mungilnya tersenyum lebar saat ibunya memasang pita berwarna merah jambu di rambutnya. Manis sekali. Itu warna favoritnya.
"Duh, cantiknya anak Ibu! Kalau besar pasti banyak cowok yang naksir!"
Sang ibu memuji putrinya. Yang dipuji hanya tersipu malu. Namun hatinya riang tak terkira mendengar pujian itu.
"Ibu hari ini pakai baju warna apa? Pink saja ya, Bu! Ibu pasti cantik, mirip kayak aku," si anak bertanya dan langsung menjawabnya sendiri. Wajahnya menjadi lucu dan ceria.
"Yah, tapi Ibu nggak punya baju warna pink. Ibu cuma punya warna hijau sama biru."
"Ya udah kalau gitu pinjam baju aku aja, Bu! Kan banyak baju aku yang warna pink. Ibu pilih saja satu," anak perempuan itu terlihat serius dengan tawarannya, yang membuat sang ibu tertawa.
"Nggak muat dong, sayang. Baju kamu kan kecil. Nanti kalau robek, gimana?"
"Hmm.. iya juga sih. Tapi, aku mau lihat Ibu pakai baju warna pink. Ibu pasti lebih cantik, dibandingkan pakai baju hijau dan biru."
Anak perempuan itu sedikit cemberut. Sang ibu membelai kepala anaknya.
"Ya sudah, kalau gitu nanti pas pulang Ibu beli kain pink buat dijadikan baju. Biar Ibu nggak kalah cantik dari anak Ibu yang satu ini."
"Hehehe.. tapi tetap aja, aku pasti lebih cantik dari Ibu," anak perempuan itu tak mau kalah. Meski ia sangat senang dengan janji ibunya itu.
"Ehem.. sudah siap anak Ayah yang cantik?"
Di depan pintu kamar sudah muncul ayah si anak perempuan. Lengkap dengan pakaian berwarna serba gelap. Wangi minyak rambut yang maskulin menyebar ke sekeliling kamar.
"Sudah, Yah. Lihat nih! Aku cantik kan?"
Anak perempuan itu segera berdiri di dekat ayahnya, memamerkan dirinya yang sudah tampil cantik dengan dress berwarna carnation. Anak itu terlihat centil dan menggemaskan.
"Oh iya, cantik sekali! Tapi, kok Ibunya belum cantik sih? Masih bau bawang putih," si ayah menggoda istrinya yang belum ganti baju. Masih setelan ibu-ibu yang habis masak di dapur. Wajah istrinya masam dibilang bau bawang putih.
"Yeee Ayah nggak boleh gitu! Ibu kan dandanin aku dulu, ya kan, Bu? Lagipula aku nggak cium bau bawang putih kok."
Anak perempuan itu memeluk pinggang ibunya. Si ibu balas mengusap punggung anaknya.
"Iya, nih. Kayanya hidung Ayahmu saja yang bermasalah. Mungkin belum dibersihin tu hidungnya," si ibu balas ngatain suaminya.
"Ihhh jorok!"
Anak perempuan itu langsung memasang ekspresi jijik. Ayahnya kali ini kalah. Anak perempuannya jelas memilih kubu sang istri.
"Ya udah, sini, kamu yang bersihin deh."
Sang ayah menggoda anaknya. Membuat si anak lebih erat memeluk ibunya. Mana mungkin ia mau membersihkan hidung ayahnya.
"Ihh nggak mau! Bu, lihat tuh Ayah, sudah gede masih jorok!"
"Sudah, sudah. Ibu mau ganti baju dulu, terus kita langsung berangkat."
Sang ibu menengahi perkelahian kecil yang memang sering terjadi di rumah itu.
Pukul 8 pagi, keluarga kecil itu sudah bersiap-siap menunggu tumpangan harian mereka, angkot. Ya, mereka hanya keluarga sederhana, tidak punya kendaraan pribadi. Sebenarnya uang mereka cukup untuk membeli sebuah mobil bekas, tetapi uang itu masih ditabung. Akan digunakan jika sudah tiba saatnya.
Hidup pas-pasan tidak lantas membuat keluarga itu berpenampilan rendahan. Ibu mereka punya usaha penjahitan, bisa membuatkan pakaian yang fashionable meski dari bahan murahan. Itulah mengapa sang anak kerap kali mendapat sanjungan dari tetangga dan teman temannya, karena selalu tampil cantik dengan busana buatan sang ibu.
"Jauh ya tempatnya, Yah?"
Anak perempuan itu duduk dipangku ibunya karena angkot yang ditumpangi mereka penuh. Ayahnya duduk di sebelah kirinya.
"Tidak," si ayah menjawab singkat.
Hari ini mereka akan mengunjungi teman lama sang ayah yang baru saja pindah di kota itu.
"Katanya rumah Paman itu kayak istana ya, Yah? Besaaarrr.. Luaaasss.. Bahkan rumah kita hanya seluas kamar mandinya saja. Bener ya, Yah? Wih, nggak capek Paman itu jalan di rumahnya? Kalau malam-malam dia mau pipis, dari kamarnya ke kamar mandi pasti jauh banget kan, Yah?"
Anak perempuan itu mulai cerewet dengan bertanya seputar rumah orang yang akan mereka kunjungi. Dia tidak peduli jika orang-orang di dalam angkot itu memperhatikannya.
Sang ayah hanya membalas kumpulan pertanyaan anaknya dengan senyum. Sebenarnya ia tidak enak kalau didengar banyak orang. Tapi putrinya masih kecil, belum tau mana yang konsumsi publik dan mana yang bukan.
"Jangan-jangan, kalau malam hari Paman itu mau pipis, karena saking jauhnya, pas sampai di kamar mandi eh sudah pagi. Kasihan juga ya, Yah."
Anak itu berhipotesis dengan polosnya. Membuat orang-orang di dalam angkot itu tertawa.
Ayah dan ibu si anak hanya tersenyum menahan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Burning Aster
AcakMaaf, cerita ini belum bisa berlanjut karena saya belum sempat ngedit chapter-chapter berikutnya.