Dua

49 8 3
                                    

Sudah 10 menit angkot yang ditumpangi keluarga itu membelah jalan. Banyaknya penumpang membuat angkot terasa sumpek. Gerah. Si anak perempuan menyeka peluh di dahinya.

Ibu anak itu segera mengambil kipas dari dalam tasnya. Bukan kipas seperti milik ibu-ibu pejabat yang ada renda atau bulu-bulunya. Ini hanya karton bekas yang digunting kecil ukuran 30 x 10 cm. Tapi anginnya tetap sejuk.

"Bu, besok jadi ajarin aku jahit kaos tangan, kan?"

Anak perempuan itu menyela suasana sumpek. Dia tidak pernah kehilangan objek pembicaraan. Sang ibu membalas dengan anggukan.

"Susah tidak, Bu?" si anak kembali bertanya, kali ini dengan wajah penasaran.

"Kalau sudah belajar pasti bisa, sayang."

Si ibu merapihkan posisi pita di rambut anaknya.

"Aku nggak tanya bisa atau tidak, tapi susah atau nggak jahitnya?"

Anak perempuan itu geleng geleng kepala menolak jawaban ibunya. Pitanya bergeser lagi.

"Gampang, sayang."

Ibu itu kembali menata pita di rambut sang anak. Pitanya dijepit lebih kuat agar tidak mudaj berantakan.

"Oh ya, potong kuku tangan kananku juga ya, Bu. Aku nggak bisa potong sendiri, susah."

Anak itu pindah pembicaraan ke kuku tangan kanannya yang masih panjang. Ekspresi wajahnya terlihat kesal. Kesal dengan kukunya sendiri sendiri.

"Iya, sayang. Nanti pulang dari ...."

"Eeeee awaaasss!!"

Tiba-tiba, seorang penumpang yang duduk di sebelah supir berteriak. Ada anak laki-laki dari tepi kiri jalan berlari menyeberang di depan angkot itu secara tiba-tiba. Supir angkot itu kaget. Dia tidak sempat menginjak pedal rem, tetapi membanting setir ke kanan.

Tak disangka, dari arah belakang, sebuah minibus melaju kencang mengambil sisi kanan jalan untuk menyalip dengan kecepatan tinggi. Namun ternyata di depan sana ada angkot yang oleng ke kanan jalan.

Pengendara minibus itu berusaha segera memperlambat laju kendaraannya, namun terlambat. Injakan kakinya di pedal rem kalah cepat dengan perputaran as roda.

Kecelakaan pun terjadi. Minibus itu menghantam badan angkot sebelah kanan. Jeritan terdengar dari dalam angkot dan minibus. Angkot yang ditumpangi ayah, ibu, dan anak perempuannya itu berputar-putar dan menabrak pembatas jalan. Posisi angkot itu nyaris terbalik.

Suasana di dalam angkot sangat mengenaskan. Banyak penumpang yang bersimbahan darah dan tak sadarkan diri. Ada yang masih sadar namun tak dapat bergerak karena posisinya terjepit. Anak perempuan berkepang dua itu masih sadar. Dia ada dalam pelukan ibunya. Menangis ketakutan.

"Ibu? Ayah?"

Anak perempuan itu memanggil ibu dan ayahnya dengan suara parau. Dia sangat ketakutan melihat darah di sekitarnya.

Ibu dan ayahnya tak menjawab. Anak itu mencoba menunggu sejenak, tetapi tak kunjung terdengar jawaban. Akhirnya anak tersebut memutuskan melepas pelukan ibunya. Tangan ibunya terasa dingin. Anak itu semakin dipenuhi banyak ketakutan.

Ia akhirnya berhasil melepas pelukan ibunya dan turun dari pangkuan sang ibu. Lututnya lemah. Anak itu jatuh terduduk. Kedua kakinya sangat sakit untuk digerakkan. Anak itu menahan rasa sakitnya untuk berputar badan, berusaha memeriksa mengapa ibu dan ayahnya hanya diam. Seluruh tubuhnya semakin terasa sakit.

Anak perempuan itu akhirnya bisa melihat kedua orang tuanya. Tetapi, itu bukan pemandangan yang diharapkannya. Lihatlah, ayahnya sedang mendekap ibunya, namun keduanya penuh dengan luka dan darah yang masih terus menetes. Anak itu memanggil ayah dan ibunya lagi. Namun sama, tak ada jawaban. Anak itu menangis.

"Ayah, Ibu, bangun... Aku takut..."

Anak perempuan itu memutar bola matanya untuk memandangi sekitar. Semua orang berlumuran darah. Kepala, wajah, tangan, kaki, bahkan sekujur tubuh. Mereka semua tak sadar, dengan keadaan tubuh yang sangat menyeramkan untuk dilihat apalagi oleh anak berusia 6 tahun. Dia semakin takut. Ibu dan ayahnya tak bergerak sedikit pun.

Anak itu ingin meminta bantuan. Ia ingin berteriak minta tolong, tetapi rahangnya terasa kaku. Anak itu pun mencari di mana celah untuk keluar. Dia segera menemukan celah yang letaknya tak begitu jauh dari posisinya.

Anak perempuan itu tak bisa berjalan. Kakinya tak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri dan berjalan. Anak yang malang itu pun menggunakan tangannya untuk merangkak, kemudian menyeret badannya perlahan. Kakinya terasa sangat sakit. Anak itu terus menangis sambil menahan sakit.

"Aahhh!" telapak tangan kiri anak perempuan malang itu tak sengaja terkena pecahan beling kaca. Ia baru sadar di sekelilingnya banyak sekali kepingan kepingan kaca angkot yang pecah.

Tetapi anak itu tidak berhenti bergerak. Dia ingin cepat keluar dari tempat tersebut. Anak itu berusaha merangkak lebih cepat, menyeret lebih kuat, walaupun kulitnya kembali tertusuk pecahan kaca dan mengeluarkan darah. Dia tidak mau menghiraukan perih yang dirasakannya.

Anak itu telah sampai di pintu. Dengan sisa tenaganya, ia segera menyeret tubuhnya keluar. Silau. Pemandangan di luar sangat silau. Anak itu mengerjap-ngerjapkan mata. Pandangan matanya juga kabur. Ia tak bisa melihat apa ada orang di dekatnya atau tidak. Anak itu akhirnya kembali merangkak ke tempat yang lebih jauh. Berusaha mencari pertolongan, semoga ada orang yang melihatnya. Tapi tenanganya mulai habis. Tangannya mulai kaku. Ia benar-benar lemah.

Saat itulah, terdengar sebuah ledakan. Anak perempuan itu spontan mencari sumber ledakan, yang ternyata hanya berjarak 2 meter dari tempatnya sekarang. Angkot yang ia tumpangi tadi meledak. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana api membakar dengan ganas dan cepat. Tubuhnya bisa merasakan hawa panas yang dialirkan api itu ke udara.

Ayah... Ibu...

Anak perempuan berkepang dua itu langsung tak sadarkan diri.

============================

Hai readers! Jangan diam diam aja ya, kalau ceritanya jelek komen aja gak papa yang pedis pedis, dan kasih juga sarannya biar saya bisa perbaiki. Kalau suka, langsung vote deh, biar saya juga semangat ngelanjutinnya. Maklum baru amatiran, masih butuh motivasi:D

Burning AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang