Tiga

34 6 2
                                    

Meledaknya sebuah angkot setelah bertabrakan dengan minibus berkecepatan tinggi menjadi berita utama koran pagi ini. Judulnya paling besar, dipampang di halaman pertama.

Pengendara minibus luka parah. Untuk sementara ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan angkot yang kondisinya lebih mengenaskan. Apalagi dengan ledakan itu, semua penumpang di dalamnya tewas.

Hanya ada 1 penumpang angkot yang selamat. Dia adalah anak perempuan dengan rambut kepang dua dan pita merah muda. Anak perempuan yang pergi dengan ayah dan ibunya, yang sayangnya meregang nyawa karena kecelakaan itu. Anak itu berhasil keluar sebelum angkot itu meledak. Tetapi dua kakinya mengalami patah tulang dan sekujur tubuhnya penuh luka akibat tertusuk pecahan beling.

Anak perempuan yang malang itu kehilangan kedua orang tuanya. Ia tidak punya keluarga lagi. Di kota ini ia hanya tinggal dengan ayah dan ibunya saja. Tidak ada sanak saudara.

Anak malang itu mendapat perawatan insentif di sebuah rumah sakit. Beruntung, fraktur yang dialami tak begitu parah ditambah lagi usianya yang masih masa pertumbuhan, peluang untuk sembuh cukup besar. Dia tidak perlu terus menggunakan gips atau kursi roda terlalu lama. Luka di tubuhnya juga diperkirakan bisa cepat kering.

"Ibu.. Ayah.."

Anak perempuan korban selamat itu siuman setelah hampir setengah jam tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Kaki dan tangannya diperban. Wajahnya lebam.

Seorang suster penjaga segera mendekati anak itu dan memeriksa keadaannya.

"Kau sudah sadar? Jangan banyak bergerak dulu ya, adik kecil."

Suster penjaga segera memperbaiki posisi anak perempuan di hadapannya.

Anak perempuan yang baru sadar tersebut masih tidak mengenali keadaan sekitarnya. Ia melihat selang infus yang dipasang dari tangannya dan beberapa peralatan medis lainnya. Tubuhnya sakit untuk digerakkan.

"Aku di mana? Ayah dan Ibu mana?" si anak bertanya pada wanita yang belum ia kenali bahwa itu adalah suster.

Suster penjaga bingung mau menjawab apa. Anak itu langsung bertanya tentang ayah dan ibunya.

"Ehm.. kau sekarang ada di rumah sakit. Ayah dan Ibumu, nanti kau bisa menemui mereka setelah kau sembuh."

"Aku mau bertemu sekarang."

"Tidak bisa, sayang. Kau tidak bisa menemui mereka sekarang. Kondisimu belum memungkinkan. Biar kita tunggu sampai dokter mengizinkan kau keluar, ya."

Anak itu kecewa. Tetapi dia telah sadar kalau wanita yang sedang berbicara itu adalah seorang suster. Terlihat dari seragam putihnya. Ibunya dulu pernah membuat baju yang serupa, pesanan dari orang rumah sakit.

"Bagaimana kondisi Ayah dan Ibu?"

"Ehm.. mereka.. mereka baik-baik saja," suster itu terpaksa berbohong. Mungkin ia bisa memberitahu yang sebenarnya saat kondisi anak itu sudah lebih baik.

"Kalau begitu tolong bilang sama mereka kalau aku sudah bangun. Suruh mereka datang ke sini, ya, suster."

"Aku.. maaf, aku tidak bisa melakukan itu."

"Kenapa?"

"Kita tunggu dokter dulu, ya. Dokter yang akan memutuskan."

Suster itu takut salah bicara. Dia hanya bisa mengandalkan kalimat 'tunggu dokter'-nya saat kondisi seperti ini.

Anak perempuan itu pun diam. Tidak menyahut. Suster penjaga pun lega.

"Tapi, aku khawatir, suster."

Suster penjaga kaget, ternyata anak itu belum berhenti bicara.

"Aku ingat. Ada api! Ya, aku masih ingat, api itu membakar angkot kami. Ayah dan ibuku masih di dalam angkotnya. Aku khawatir, apa mereka baik-baik saja?" anak perempuan itu melanjutkan kata-katanya, yang membuat sang suster terkejut.

"Kau.. kau yakin melihatnya? Maksudku, ayah dan ibumu... hmm, mereka...mungkin mereka sudah ada di luar. Ya, mereka sudah keluar sebelum angkotnya meledak."

Suster menyeka keringatnya. Dia takut salah memberikan alasan. Ekspresinya persis tersangka yang sedang diinterogasi polisi. Suster tersebut ternyata baru bekerja dua hari lalu. Dia masih kaku menangani pasiennya, apalagi anak kecil seperti yang sedang ia hadapi sekarang ini.

"Benarkah mereka tidak apa-apa?"

"Iya, percayalah."

"Kalau begitu janji ya, kalau aku sudah sembuh, temani aku bertemu ayah dan ibuku."

Si anak mengacungkan jari kelingkingnya. Janji kelingking. Dia ingin suster itu berjanji bahwa orang tuanya baik-baik saja. Suster itu semakin serba salah. Bagaimana ini? Anak kecil itu memintanya berjanji. Apa dia harus memberikan janji palsu?

"Suster? Ayo janji."

Perlahan dan tak pasti, suster itupun mengulurkan jari kelingkingnya. Dia berharap ada sesuatu yang menghentikan gerakan jarinya. Dia berharap tiba-tiba ada orang lain masuk ke ruangan itu dan mengacaukan ketegangan. Atau hal lain yang bisa mengalihkan perhatian anak kecil ini.

Sayang, yang diharapkan tidak terjadi. Suster itu pun melingkarkan kelingkingnya.

"Ya, aku janji. Kau akan bertemu mereka. Apapun keadaannya, kapanpun dan di manapun. Aku jamin... kalian akan bertemu."

Mata suster itu berkaca-kaca.

============================

Give your comment and vote if you love it yaa... :)

Burning AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang