Empat

43 5 0
                                    

"Aku sudah bisa turun dari tempat tidur, kan, Dok?"

Setelah lima hari hanya duduk dan tidur di atas ranjang rumah sakit, kondisi anak perempuan korban selamat kecelakaan angkot akhirnya mengalami kemajuan pesat. Lukanya sudah sembuh 97 persen. Tetapi dia masih harus menggunakan kursi roda karena anak itu belum pernah berjalan semenjak seminggu lalu, setelah terjadinya kecelakaan nahas yang merenggut nyawa orang tuanya.

"Ya, kau sudah boleh jalan-jalan keluar, tapi dengan syarat, kau harus pakai kursi roda. Aku sudah siapkan suster untuk membantumu. Tapi tenang saja, itu hanya sementara. Kakimu akan segera sembuh dan tidak perlu kursi roda lagi setelah itu."

Dokter dengan kacamata tebal itu menyimpan stetoskop dalam saku jas putihnya. Dia sudah selesai memeriksa kondisi pasien kecilnya. Pasien kecilnya itu kini tersenyum ceria, membuat matanya menyipit. Kata-kata 'kau sudah boleh keluar' sepertinya membuat tingkat kesembuhannya naik 10 poin.

"Aku senang kau sudah sehat secepat ini. Benar-benar di luar dugaan! Untuk anak kecil, dirawat di rumah sakit jelas menakutkan. Tapi lihatlah, kau menjalani perawatan dengan tenang dan mengalami kemajuan pesat dalam waktu lima hari. Kau bahkan tidak berontak saat disuntik atau disuruh menelan obat pahit sekalipun. Dan sekarang, kau sudah senyum-senyum seperti habis mendapat hadiah spesial. Hebat!"

Dokter mengacungkan dua jempol. Anak perempuan itu tertawa riang, memperlihatkan gigi kelincinya yang menggemaskan. Dokter pun ikut tertawa.

"Tapi di mana ya, suster yang pertama kali merawatku? Kenapa dia tidak datang ke kamarku lagi?"

"Suster Maryam maksudmu? Dia sibuk merawat pasien lain. Jangan cemas, masih banyak suster lainnya, bukan?"

"Tapi, aku kan ingin bertemu ayah dan ibu bersama suster itu."

Ekspresi dokter yang awalnya ceria langsung berubah saat mendengar kalimat terakhir anak tersebut. Apa maksud anak ini?

"Kata suster itu, aku hanya boleh bertemu ayah dan ibu kalau dokter mengizinkan. Katanya, dokter yang akan memutuskan kapan aku boleh menemui mereka."

"Benarkah? Suster Maryam bilang begitu padamu?" dokter berusaha menjaga emosi dan wibawanya.

"Ya! Suster itu juga janji, kalau dokter sudah memberi izin, dia akan menemani aku bertemu ayah dan ibu."

Dokter itu menahan napasnya. Kenapa suster tersebut berani memberi janji seperti itu? Dan kenapa pula dirinya harus dibawa-bawa?

"Boleh kan, Dok? Aku sudah boleh keluar bertemu ayah dan ibuku, kan?"

Lelaki yang sudah 20 tahun mengabdi menjadi seorang dokter itu, entah mengapa merasa pertanyaan pasiennya yang baru berusia 6 tahun ini adalah pertanyaan tersulit dalam sejarah kedokteran miliknya. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, hanya boleh atau tidak. Tetapi jawaban apapun yang diberi, semua hasilnya akan membuat anak itu sedih. Bagaimana mungkin dia tega membuat anak yang baru sembuh dan sangat bahagia ini sedih?

Jika dia bilang tidak, apa alasannya? Kondisi anak itu sudah baik. Dia hanya ingin bertemu orang tuanya, yang justru wajib menemaninya bahkan semenjak pertama kali dirinya dibawa ke rumah sakit. Jelas, anak itu akan curiga bahwa ada yang tidak beres dengan ayah dan ibunya. Tetapi jika jawabannya boleh, dan suster mengajak anak itu ke orang tuanya, siapa yang akan anak itu temui? Ayah dan ibu yang mana?

Dokter itu takut jika kondisi pasien kecilnya malah memburuk saat tahu ayah dan ibunya telah pergi. Dia langsung mengerti bahwa perkembangan kesehatan selama lima hari itu karena sang anak ingin segera bisa bertemu orang tuanya. Rasa rindu dan janji suster itulah yang membuat tubuhnya semangat untuk sehat.

"Dokter? Bagaimana? Boleh, kan?"

Wajah anak perempuan tersebut penuh pengharapan.

Dokter menghela napas yang sangat berat. Maafkan aku.

Dokter itu pun menjawab hanya dengan sekali anggukan kepala. Dia tidak menjawab boleh. Dia hanya mengangguk sekali. Anggukan sekali itu tidak selalu mengisyaratkan 'ya' bagi orang-orang tertentu. Tetapi bagi anak perempuan itu, dokter telah menjawab 'ya, boleh'.

"Terima kasih, Dokter."

Senyuman kembali merekah dari bibir mungil anak perempuan malang tersebut. Sang dokter membalas dengan senyum.

"Tunggu ya, aku akan panggil suster untuk membantumu berjalan-jalan dengan kursi roda."

Dokter segera keluar. Dia sebenarnya hendak menemui Suster Maryam. Umur panjang, suster itu sedang berjalan berlawanan arah di depannya.

"Dokter, aku sudah..."

"Aku baru saja ingin menemuimu. Suster Maryam, katakan padaku, kenapa kau berjanji akan mempertemukan anak perempuan itu dengan orang tuanya?"

Belum selesai suster itu bicara, dokter sudah memotong kalimatnya. Tanpa perlu dijelaskan dua kali, suster tersebut mengerti maksud kata 'anak kecil itu' dalam pembicaraan sang dokter.

"Aku... aku tidak tahu.. tidak mungkin saat itu aku langsung bilang kalau ayah dan ibunya sudah tidak ada. Dia... anak perempuan itu maksudku, dia langsung bertanya di mana orang tuanya. Aku bingung, Dok. Maaf aku sudah membawa-bawa Dokter dalam janjiku."

"Kau tidak seharusnya berjanji pada anak kecil itu. Kau bisa bilang, kau tidak tahu apa-apa tentang orang tuanya, bilang kalau kau hanya menggantikan suster lain yang sedang berhalangan merawatnya, jadi kau tidak tahu-menahu soal korban kecelakaan lain, atau alasan lain yang membuat anak itu tidak berharap ketinggian. Kau bisa pura-pura tidak tahu. Itu memang kebohongan juga. Tetapi dengan memberikan janji, kau mengambil keputusan berbohong yang salah. Kau hanya akan menyakiti hati anak kecil yang tidak berdosa."

Suster bernama Maryam itu menundukkan kepalanya.

"Maafkan aku, Dokter. Maafkan aku."

"Sekarang apa yang akan kau lakukan? Memberitahukan yang sebenarnya? Apa kau akan menjelaskan tentang kematian orang tuanya? Atau kau akan membuat kebohongan lain?"

"Aku tidak tahu, Dokter."

Dokter menghela napas panjang. Kaca matanya sampai berembun. Suster di depannya masih tertunduk.

"Bawa anak itu ke makam orang tuanya. Bilang saja, orang tuanya ada di sana. Nama ayah dan ibunya tertulis jelas di nisan. Kau tidak berbohong padanya, dan kau juga menepati janji. Selesai. Jangan bohong pada anak kecil terlalu lama."

Apa? Suster Maryam terkejut. Dokter ini mudah sekali menjawab. Sesederhana itukah? Mata suster itu berkaca-kaca.

"Semoga anak itu bisa menerima," sang dokter mulai melangkah pergi.

Tiba-tiba langkah dokter itu terhenti.

"Oh ya, anak itu belum boleh berjalan. Kau bisa membantu mendorong kursi roda untuknya saat pergi nanti, kan?"

Sebelum pertanyaannya dijawab, dokter sudah melanjutkan langkah. Meninggalkan Suster Maryam yang kini berdiri sendirian di lorong rumah sakit, dengan rasa bersalah dan dilema memenuhi otaknya.

============================

Butuh kritik dan saran biar next chapternya lebih bagus. Jangan sungkan vote ya hahaa.. Satu vote sangat berarti buat ngeboost mood aku nulis:D
Thanks for reading:* love you gaeess..

Burning AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang