Bab 1: Pertemuan yang Tak Terduga

5 2 0
                                    

Kirana memerhatikan langit yang sedikit mendung saat ia berjalan menuju gerbang SMA Negeri 3 Jakarta. Hari pertama di kelas 12. Tahun terakhir, yang seharusnya dipenuhi semangat, justru terasa menekan dadanya. Semua orang tampak sangat sibuk, berbicara tentang masa depan, ujian, dan apa yang akan terjadi setelah mereka lulus. Kirana sendiri merasa jauh lebih sederhana daripada itu. Ia tidak pernah merasa bagian dari keramaian yang tampak ada di sekitar sekolah. Ia merasa seperti seorang pengamat dalam hidup orang lain.

Sejak masuk SMA, Kirana selalu memilih untuk duduk di bangku belakang, jauh dari sorotan, di antara tumpukan buku dan jurnal pribadinya. Ia merasa nyaman dengan dunia kecilnya sendiri, jauh dari hiruk-pikuk pergaulan teman-teman sekolah yang lebih populer. Di matanya, mereka yang populer—seperti Raka—adalah orang-orang yang sangat jauh dari jangkauannya. Mereka adalah dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan perhatian, pengagum, dan ekspektasi yang terlalu besar.

Raka, anak laki-laki yang paling dikenal di sekolah. Dengan rambut hitam yang selalu teratur, senyum yang memikat, dan tingkah laku yang selalu mengundang perhatian, dia adalah sosok yang sepertinya tak pernah gagal memikat hati siapa pun yang melihatnya. Semua orang mengenal Raka. Semua orang ingin dekat dengannya. Semua orang—termasuk Kirana—mengaguminya dari kejauhan.

Namun, meskipun ia mengagumi Raka, Kirana tidak pernah merasa cukup penting untuk mendekatinya. Ia lebih memilih untuk menjadi bayangan di antara orang banyak, dan menulis catatan-catatan dalam jurnalnya sebagai cara untuk melarikan diri dari kenyataan.

Hari itu, Kirana menyadari bahwa sesuatu akan berbeda. Saat ia memasuki kelas 12 IPA 3, matanya tidak bisa menghindari sosok Raka yang duduk di dekat jendela, berbicara dengan beberapa teman laki-laki yang duduk di meja depan. Namun, saat Raka menoleh ke arah Kirana, pandangan mereka bertemu hanya dalam beberapa detik, cukup untuk membuat jantung Kirana berdebar kencang.

Tanpa kata, Raka tersenyum padanya, sebuah senyum tipis yang sangat khas. Senyum yang selalu berhasil membuat Kirana merasa bingung, cemas, dan entah kenapa, sedikit senang. Itu adalah senyum yang memancarkan rasa percaya diri, dan entah kenapa, senyum itu membuat Kirana merasa tidak siap, bahkan untuk sekadar membalas tatapan tersebut.

Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Kirana akhirnya merunduk, mencari bangkunya di bagian belakang kelas. Ia berusaha menghindari perasaan aneh yang mulai menggelayuti dadanya. Namun, ia tidak bisa mengabaikan senyum Raka yang masih terbayang jelas dalam pikirannya.

Keesokan harinya, Kirana menemukan sebuah catatan di atas mejanya. Awalnya, ia mengira itu adalah catatan dari teman-teman sekelasnya yang biasa menulis lelucon atau komentar lucu di atas meja. Namun, kali ini berbeda. Catatan itu tampak lebih rapi, dilipat dengan hati-hati, dan ada sesuatu yang membuatnya penasaran.

Dengan sedikit gugup, Kirana membuka lipatan kertas itu. Matanya terhenti pada tulisan tangan yang sangat rapi—berbeda dengan coretan-coretan biasa yang biasanya ada di catatan teman-temannya.

"Kirana, kamu cantik. Mau nggak kita ngobrol lebih banyak? Raka."

Kirana hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Raka—si anak populer itu—menulis surat padanya? Untuk beberapa saat, Kirana hanya terdiam, merasa bingung dan cemas. Apakah ini benar-benar untuknya? Benarkah Raka yang menulis ini? Di dalam pikirannya, ia membayangkan segala kemungkinan, dari yang baik hingga yang buruk. Mungkin ini hanya candaan dari teman-teman sekelas yang suka iseng.

Kirana berdiri di depan cermin, menatap surat dari Raka yang masih terlipat rapi di atas meja belajarnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Suratkecil itu seolah menjadi pengingat nyata bahwa sesuatu yang tidak ia duga sedang terjadi, dan perasaannya pun semakin sulit ia sembunyikan.

Takdir yang MengikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang