Bagian Kesembilan Belas

7 5 0
                                        

Lia Ruhani melangkah perlahan, cahaya redup di tangannya memandu mereka kembali. Kali ini, mereka tidak lagi tersesat di tempat asing. Jalan pulang terlihat jelas, membawa mereka ke arah ayunan yang seolah menanti dengan setia.

Ayunan itu diterangi sinar lembut dari lampu jalan, menghadirkan sedikit rasa nyaman di tengah malam yang mencekam. Kotak makan siang dan jus masih tergeletak, belum disentuh sejak mereka pergi. Tapi tas sekolah Raka Samudra dan Lia Ruhani sudah menghilang.

Tiara Ayu menarik napas panjang, berusaha mengatur degup jantungnya. "Ke mana Kak Raka Samudra? Apa yang harus kita lakukan kalau dia tidak ada di sini?" tanyanya, suaranya lirih namun penuh kecemasan.

Sekilas, Tiara Ayu merasa lega bisa kembali ke ayunan. Namun perasaan itu segera tergantikan oleh gelombang panik yang tiba-tiba menyerang. Hatinya kembali terasa berat. Ia hanya ingin pulang—sesederhana itu.

Lia Ruhani menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. "Mungkin dia pergi mencari kita?" jawabnya tenang.

Tiara Ayu mengerutkan kening, cemas semakin kentara di wajahnya. "Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kalau dia ke toilet, dia tidak akan menemukan kita. Kalau dia pergi ke tempat lain untuk mencari kita, bagaimana?"

Ia memandang sekitar, gelapnya malam seolah menelan segalanya. Setiap sudut taman seperti menyimpan sesuatu yang tak terlihat. Jemarinya saling meremas, mencoba mengusir rasa takut yang mulai mencengkeram.

"Kita tunggu di sini," Lia Ruhani berkata dengan nada tegas namun lembut. "Kita jangan berkeliaran. Kak Raka pasti akan kembali ke tempat ini untuk mencari kita. Kalau kita pergi, kita malah bisa tersesat lebih jauh."

Tiara Ayu mengecilkan tubuhnya, seperti seekor hamster yang mencari perlindungan. "Iya," gumamnya pelan.

Lia Ruhani meraih tangan Tiara Ayu, menggenggamnya erat, lalu mengajaknya duduk di ayunan. Cahaya di tangan Lia memudar perlahan, habis karena kekuatan spiritualnya yang melemah. Tapi syukurlah, lampu jalan di atas mereka masih menyala, memberikan secercah penerangan.

"Lia, aku takut," bisik Tiara Ayu. Ia sadar, kalimat itu sudah terlalu sering ia ucapkan malam ini. Ia kesal pada dirinya sendiri—mengapa ia tak bisa setenang Lia?

Lia Ruhani tersenyum kecil, menatapnya lembut. "Jangan takut," katanya, berusaha menguatkan. Ia merentangkan tangannya yang mungil, memeluk Tiara dengan hangat, meski pelukannya tak cukup besar untuk benar-benar melingkupi.

Malam itu begitu sunyi. Setiap suara terdengar begitu nyata—angin yang berdesir, suara jangkrik yang bersahutan...

"Kriet, kriet..."

"Kriet, kriet..."

Hingga tiba-tiba—hening.

Lia Ruhani mengangkat wajahnya, mendengarkan. "Hm?"

"Ada apa?" Tiara Ayu bertanya, waspada.

"Suara jangkrik. Hilang."

Tiara Ayu ikut menajamkan pendengarannya. Memang benar, jangkrik itu tidak lagi bersuara. Sebagai gantinya, suara lain perlahan masuk menggantikan.

"Tap."

"Tap."

"Tap."

...

"Di mana dagingku?"

"Di mana dagingku?"

"Di mana dagingku?"

...

"Kenapa aku tidak bisa menemukannya?"

Suara itu menggema, semakin mendekat, memecah keheningan yang membekukan malam.

Keluarga BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang