Setelah pertemuan itu Shaka berubah menjadi anak yang semakin pendiam, jarang berbicara bahkan anak itu selalu menjauh dari siapapun, bahkan di sekolah pun Shaka tidak lagi suka ikut berbaur bersama teman-temannya yang lain. Anak itu seakan membatasi dirinya dengan semua orang, melarang semua orang untuk dekat dengannya. Seperti hari ini Shaka baru saja keluar dari ruang guru, anak itu baru saja selesai membicarakan semua hal kepada gurunya jika dirinya mengundurkan diri dari olimpiade matematika yang akan ia lakukan minggu depan, pada awalnya guru itu marah tapi Shaka tetap pada keputusannya untuk tidak ikut dalam olimpiade itu.
Bahkan sudah seminggu ini Shaka selalu dipanggil ke ruang guru setiap kelas selesai atau saat jam istirahat, karena beberapa guru mengeluhkan perihal Shaka yang sering melamun ketika jam pelarajan dan juga tingkahnya yang aneh menurut beberapa anak kelas. Bahkan Shaka pernah mendapatkan pertanyaan perihal dirinya menggunakan obat terlarang, dan tentu saja Shaka membantah itu semua, dirinya tidak akan mau mengatakan semuanya tentang keadaannya yang sebenarnya, karena menurutnya untuk apa menerima rasa kasihan dari orang-orang. Shaka masih berusaha untuk hidup hingga saat ini sudah menjadi sebuah kebanggaan untuk dirinya sendiri, meski setiap malam dirinya selalu berusaha untuk melukai dirinya sendiri.
Tubuh itu kian mengurus karena pola hidup yang tidak sehat, kali ini Shaka baru saja diminta oleh seorang guru untuk mengambil berkas di kantor guru, namun langkahnya terhenti ketika melihat Jevano kini berada di jauh dari hadapannya yaitu tepat di depan kelasnya. Dengan langkah yang berat, Shaka berjalan mendekat ke arah kelasnya. Jevano yang melihat kedatangan adik bungsunya itu tersenyum tipis namun sepertinya Jevano terlalu mengharapkan jika adiknya akan membalas senyumannya.
Shaka berusaha untuk tidak melirik ke arah kakak keduanya itu, langkahnya terhenti ketika Jevano memanggil namanya. Ini sudah sekian lama dirinya tidak mendengar kakaknya itu memanggil namanya lagi, mau tidak mau Shaka terhenti dan menatap ke arah Jevano dengan tatapan bertanya.
"Nanti pulang sekolah mau ikut abang?"
Shaka menggelengkan kepalanya. "Aku enggak bisa, ada kerjaan yang harus aku beresin di cafe tempat aku kerja."
"Kamu kerja?"
Shaka terkekeh, lalu setelah itu dirinya tidak menjawab pertanyaan Jevano. anak itu meninggalkan kakaknya yang masih mematung di depan kelasnya.
Namun sepertinya Shaka harus menahan amarahnya ketika melihat Jevano berada di depan gerbang sekolahnya tengah berbincang dengan seorang penjaga sekolah. Jevano yang tengah asik itu teralihkan perhatiannya ketika melihat tubuh kecil adiknya yang sudah muncul tidak jauh dari penglihatannya.
"Pak saya ke adik saya dulu ya, makasih loh pak udah mau nemenin saya ngobrol."
Penjaga sekolah itu tersenyum. "Sama-sama nak, oh iya adik kamu yang mana?"
"Itu pak, Shaka."
Penjaga sekolah itu tersenyum lembut ke arah Jevano. "Oalah nak Shaka, bapak pikir bukan Shaka adik kamu. Bagus deh kalo dia ada kakaknya disini, bapak kasihan lihat dia beberapa hari terakhir ini."
Jevano menyeritkan alisnya dengan perasaan bingung. "Emang kenapa pak?"
"Biasanya Shaka selalu datang paling pagi terus kalo pulang juga suka telat karena dia anaknya pinter banget, dia suka nyapa saya setiap pagi atau pas pulang sekolah. tapi beberapa hari terakhir ini dia kelihatan murung banget, bahkan saya baru sadar Shaka itu kurus banget sekarang. Saya khawatir sama dia, belum lagi beberapa anak-anak disini bilang kalo Shaka berubah jadi aneh katanya, saya enggak tahu kata aneh yang dimaksud anak-anak itu bagaimana."
Jevano semakin terdiam, tubuhnya mendadak kaku untuk ia gerakan hanya untuk berjalan mendekati Shaka yang kini berada tidak jauh dari hadapannya.
"Pak saya pamit dulu ya. mari pak."
Jevano berlari ke arah Shaka.
"Ayo pulang bareng abang."
Shaka terkekeh kecil. "Pulang kemana bang? aku enggak punya rumah yang abang bilang pulang itu buat abang sendiri. karena setiap abang pulang ke rumah itu selalu ada yang nungguin abang, beda sama aku."
Jevano terdiam mendengar perkataan adiknya. sudah berapa banyak luka yang telah ia torehkan untuk adiknya hingga adiknya memiliki pemikiran seperti ini.
"Kita pulang ke rumah bunda ya? nanti biar abang yang bilang ke bunda."
Kali ini Shaka tertawa. "Lucu bang, abang juga kan ada di rumah waktu bunda dengan jelas bilang enggak mau aku ganggu keluarga kalian. jadi buat apa aku pulang ke rumah bunda? abang mau ngelakuin apa? abang mau aku ngelakuin apa? sampai abang rela buat jemput aku? aku harus ngapain?"
"Shaka..."
"Aku udah tahu kok kalo sekarang Hika lagi di rumah sakit dia sakit ya? di butuh donor jantung kan? apa abang mau bujuk aku? biar aku mau donorin jantung aku ini buat Hika? abang mau aku kayak gitu?"
"Shaka enggak, bukan kayak gitu. abang cuma mau ketemu sama kamu, abang kangen kamu."
"Kangen? abang enggak salah? terus selama ini abang kemana? aku terpuruk sendirian, aku terluka sendirian. kemana abang selama ini?"
"Shaka, abang minta maaf ya? abang akan perbaiki semuanya, abang akan coba buat kamu sembuh dari luka yang kamu punya."
"Abang bisa? abang bisa buat aku lupain semua perkataan bunda sama ayah? abang bisa buat aku enggak kayak orang gila? abang bisa buat aku enggak sakit hati lagi? abang bisa buat aku bahagia lagi?"
Jevano terdiam tidak mengatakan apapun lagi ketika melihat bagaimana kedua mata adiknya yang memerah dan juga berkaca-kaca karena menahan tangis yang mungkin akan pecah saat itu juga.
"Udah ya bang, aku mau kerja dulu. abang pulang aja ke rumah bunda, kasihan Hika sama bunda nunggu abang."
Setelah mengatakan itu Shaka pergi dari hadapan Jevano dan menaiki angkutan umum untuk tiba di tempat kerjanya.
"Maaf Shaka, maaf udah buat kamu terluka kayak gini. maaf abang belum bisa jadi abang yang baik untuk kamu."
19 November 2024
YOU ARE READING
S A K H A
Fanfiction⚠️Semua cerita ini adalah fiktif. Dimohon untuk pintar dalam memilih cerita. Jika ada narasi atau lain hal yang buruk, sangat dimohonkan untuk tidak ditiru⚠️ Menyerah lebih baik daripada bertahan. karena pada dasarnya dirinya kembali ditinggalkan se...