04

415 73 11
                                    


Hari ini adalah hari dimana perasaan Sakha seperti tengah dipermainkan. Satu sisi dirinya bahagia karena akhirnya semua anggota keluarganya akan datang dan pulang kembali ke rumah ini, tetapi di sisi lain Sakha takut akan perkataan dan kenyataan yang harus kembali ia terima dengan lapang dada.

Sejak semalam dirinya tidak dapat tertidur sama sekali. Bahkan rasa kantuk pun seolah enggan untuk mendekat atau menempel pada kedua matanya. Pagi ini Sakha sudah rapi dengan pakaian miliknya tapi dirinya belum juga keluar dari kamar. Di dalam kamar Sakha terus memperhatikan gerbang rumahnya yang sudah terbuka lebar, lalu tidak lama kemudian Sakha melihat Ryan datang bersama dengan istrinya.

Dengan kedua tangan yang bergetar hebat serta perasaan yang berantakan, Sakha harus memakai topeng baik-baik saja untuk mengelabui semua orang. Pakaian yang semula memakai kaos hitam, kini tubuh kurus itu ia lapisi dengan sebuah kardigan panjang berwarna hitam juga, hanya untuk menutupi luka yang masih basah pada salah satu lengannya karena ulahnya semalam.

Kaki Sakha mulai dilangkahkan oleh pemilik menuju ke ruang tamu. Dan disana sudah ada semuanya kecuali Hikael, dirinya tidak melihat keberadaan saudara kembarnya.

"Bunda..."

Bunda hanya melirik Sakha sekilas, bahkan senyum pun tidak terlihat diwajah bundanya.

"Duduk kamu."

Suara dingin namun tegas milik ayah membuat Sakha duduk di salah satu single sofa yang berada tidak jauh dari kedua orang tuanya.

"Saya tidak punya banyak waktu lagi, saya harus kembali ke rumah sakit."

"Bunda sakit?"

Bunda bahkan tidak menjawab pertanyaan Sakha.

"Kamu belum diijinkan untuk berbicara Sakha."

Sakha mengangguk lalu menundukkan kepalanya, dirinya berusaha dengan sekuat tenaga yang ia punya untuk menyembunyikan rasa gelisah, panik serta takut yang terus menyelimuti dirinya sejak semalam.

"Saya akan percepat ini semua, karena saya juga tidak punya banyak waktu."

Ayah menjeda kalimatnya, lalu menatap satu persatu putranya, hatinya sedikit sakit ketika melihat tubuh putra bungsunya yang kurus dan juga dapat ayah lihat kedua tangan itu bergetar hebat.

"Sakha, saya dan juga bunda kamu sudah memutuskan untuk berpisah sejak empat bulan yang lalu. Karena sudah tidak ada lagi kecocokan dengan rumah tangga ini. Lalu setelah itu semua hak asuh saya berikan kepada Bunda kamu, kecuali Ryan karena kakak kamu itu sudah punya keluarga sendiri. Tapi ternyata saat itu bunda kamu hanya ingin hak asuh Jevano dan juga Hikael, dan saat ini bunda kamu pun sama seperti saya. Dia juga sudah punya keluarga baru, jadi saya harap kamu tidak lagi menganggu keluarga saya ataupun bunda kamu."

Sakha menatap ke arah ayahnya dengan kedua mata yang sudah terlihat berkaca-kaca. Lalu rahangnya yang mengeras karena menahan rasa kesal, sakit, kecewa.

"Kenapa bunda enggak mau ambil hak asuh aku?"

Hanya kalimat itu yang mampu diucapkan oleh Sakha kepada bundanya.

"Karena saya tidak mampu jika harus merawat kamu."

Sakha terkekeh, mengusap kedua matanya yang memerah. "Tidak mampu? Tapi bunda mampu buat rawat Hikael sama bang Jevano."

"Terus sekarang tujuan ayah sama bunda buat kumpul kayak gini buat apa? Apa ayah sama bunda mau buat aku makin ngerasa gak berguna di dunia ini? Bisa gak ayah sama bunda jangan buat aku selalu berharap terus sama kalian? Aku juga capek, setiap hari harus nunggu kalian pulang, harus berharap hal-hal yang gak mungkin aku dapat lagi. Apa selama lima bulan ini bunda sama ayah enggak cukup buat aku menderita? Ayah sama bunda terluka kan? Bang Ryan, bang Jevano sama Hikael juga terluka, tapi mereka punya support sistem, terus aku? Aku gimana?"

Ryan menatap adiknya yang terlihat hampir hilang kendali, tanpa disengaja kedua matanya melihat jika jari-jari adiknya sudah terluka.

"Terus sekarang ayah sama bunda mau aku kayak gimana? Jangan ganggu kalian lagi? Itu yang kalian mau? Kalian enggak mau ya anak sial kayak aku ganggu keluarga cemara kalian?"

Bunda terkejut mendengar perkataan anaknya. "Kamu..."

"Apa? Bunda mau aku kayak gimana? Bunda juga sama? Sama kayak ayah? Bunda enggak mau aku ganggu?"

Setelah mengucapkan itu Sakha tertawa keras hingga membuat semua orang disana terkejut dan merasa bingung.

"Kalian semua lucu ya? Terutama ayah sama bunda. Kalian berlomba-lomba ngobatin luka kalian tapi kalian lupain aku? Anggap aku anak sial, enggak mau ketemu aku lagi. Yaudah kalo itu semua yang kalian mau. Itu aja kan? Enggak ada lagi? Atau ada permintaan yang lainnya? Oh iya, kalo ayah sama bunda gak mau hak asuh aku, terus aku harus kemana? Apa bunda sama ayah udah tahu panti asuhan mana yang mau jadikan tempat buat aku?"

Sakha menangis, hatinya sakit. "Bener ya? Bener banget kata mereka. Aku cuma sampah ya bunda? Ayah? Terus kenapa dulu waktu aku lahir enggak bunda sama ayah bunuh aku aja? Kalo akhirnya kayak gini aku juga gak mau hidup. Aku lebih baik mati."

Bunda terdiam, tidak dapar berkata apapun lagi.

"Seharusnya dari dulu aku sadar ya? Kalo kasih sayang kalian itu berat sebelah di aku. Tapi aku pikir mungkin memang caranya kalian sayang sama aku. Tapi ternyata enggak ya? Emang kaliannya aja enggak suka aku ada ya?"

Ayah diam dan bunda juga diam. Mereka berdua menyadari ternyata anak bungsunya yang paling terluka selama ini.

"Udah selesai kan? Ayah sama bunda enggak mungkin mau ajak aku buat tinggal bareng kan? Aku mau siap-siap dulu, nanti siapa yang antar aku ke panti? Abang-abang? Ayah atau bunda? Aku siap-siap dulu."

Setelah mengatakan itu Sakha berniat untuk pergi ke kamarnya sebelum perkataan ayahnya memenuhi telinganya.

"Kamu tetap tinggal di rumah saya, sendiri. Kamu tidak akan saya titipkan di panti asuhan atau tempat lainnya. Kamu tetap  tinggal disini, dengan syarat saya tidak mau kamu ganggu lagi dan juga saya tidak akan memberikan kamu uang saku lagi."

Sakha menundukkan kepalanya menahan gejolak amarah yang berada pada hatinya.

"Makasih ayah udah kasih aku tempat tinggal sama uang saku selama ini dan makasih juga sama tante udah relain rumah ini untuk aku."

Setelah mengatakan itu Sakha berbalik menuju kamarnya.

"Jevano ayo pulang, Hikael udah nunggu di rumah sakit sama papah."

"Hati-hati di jalan, sampai jumpa lagi ya. Nanti kalo aku chat minta pulang, kalian pulang ya?"

Sakha berteriak cukup keras. Lalu setelahnya pintu kamar itu tertutup rapat. Keadaan Sakha jauh dari kata baik-baik saja. Kedua tangannya menjambaki rambutnya dengan keras hingga beberapa helai tercabut. Lalu setelah itu Sakha berteriak menghancurkan semuanya, memukul kaca, membanting figura foto keluarganya dulu saat dirinya masih kecil. Mengambil pecahan kaca lalu menggenggamnya dengan erat hingga membuat telapak tangannya berdarah.

"Kamu bener-bener di buang Shaka."







17 November 2024

S A K H AWhere stories live. Discover now