"Tuan, sarapannya sudah siap," ujar Sahira seperti pagi biasanya.
Tidak ada yang berubah melainkan panggilan Sahira pada Keniro. Malam itu, malam di mana Sahira menyerahkan tubuhnya dengan suka rela. Sahira tidak pernah menolak, tetapi Keniro yang tidak pernah meminta.
Kesabarannya yang mulai menipis membuat emosi Sahira meluap. Ia bahkan menyerahkan dirinya untuk dijamah sang suami, tapi apa yang ia lakukan? Ia malah mengambil baju Sahira yang terjatuh dan kembali menutupinya dengan itu.
Tidak terjadi apa pun kecuali Keniro yang memilih tidur di ruang tengah dan Sahira yang menangis dengan hati yang patah berkeping-keping di kamarnya.
Sepatah kata pun tidak pernah Keniro keluarkan sejak malam itu. Ketika berpapasan dengan Sahira di rumah, Keniro dengan segara mengalihkan pandangannya dan selalu berusaha menghindar.
"Hati-hati di jalan, tuan. Tuanku, suamiku ...." Suaranya terdengar begitu lirih mengikuti mobil Keniro yang keluar dari pekarangan rumah. Sarapan yang entah sudah keberapa kali tidak pernah Keniro sentuh sama sekali.
Sudah satu Minggu hubungan mereka menjadi semakin parah dan sejak malam itu, Sahira menuruti ucapan Keniro untuk memanggilnya tuan.
"Aku memang hanya sebatas pelayan untukmu, Mas?" Sahira masih tidak percaya dengan kenyataan ini. Ia sudah berusaha, tapi usahanya malah memperkeruh suasana yang ada.
"Apakah aku begitu menjijikan untuk kamu sentuh?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu setiap hari menghiasi kepala Sahira. Ia terus mencari apa yang salah dalam dirinya. Namun, tidak kunjung juga ia temukan. Atau memang Sahira bukanlah wanita yang Keniro inginkan?
Dering telepon di atas meja kamarnya membuat Sahira segera pergi ke sana. Ada nama dari sang ibu di layar ponsel itu. Tanpa tunggu lama, Sahira segera mengangkat telepon dari sang ibu.
"Assalamualaikum, ibu."
"Waalaikumsalam, ndok. Kepriwe toh kabare ning kono, ndok?"
"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu lan Bapak sehat kan teng kampung?"
"Iyo, Ndok. Alhamdulillah yo sehat. Masmu iku sing bagus sehat juga, Ndok? Masmu baik kan Ndok, ora gawe awakmu sedih?"
Sahira tersenyum getir, kalau boleh jujur. Ia ingin menangis sekeras mungkin dan memeluk ibunya untuk meringankan lara. "Walah, Bu. Mas Ken baik banget ming awakku, Bu. Aku yo ditumbasna klambi, hadiah, diperhatikan, disayang, masakanku dipuji enak aben dino, Bu. Bahagia aku Bu teng mriki kalih Mas Ken. Wis Ibu kalih Bapak ampun khawatir ning kampung nggih?"
Mendengar itu, hati sang ibu di seberang sana rasanya tentram. "Ya wis ndok, sehat-sehat nggih. Masmu iku neng Kono ora? Ibu pengin kandah."
"Mas Ken sampun berangkat kerja Bu. Ngesuk-ngesuk Malih nggih Bu. Suamiku ini wong sing sibuk pol, Bu."
"Walah, pancen wong bagus nggih. Ngge nafkahi anak bojo. Wis isi durung, ndok?"
Sahira terkekeh mendengar pertanyaan ibunya. "Doain ojo yo Bu semogi cepet diparingi kepercayaan due anak Ning Gusti Allah."
"Nggih, Ndok. Aamiin. Ibu wis pengin nggendong putu saking koe ndok anak wadon siji-sijine Ibu."
Perbincangan mereka berlangsung lumayan lama, di mana ibu Sahira bercerita banyak hal mengenai kehidupannya di desa dan panen padi di sawah. Puas dengan itu, telepon dimatikan. Sahira menghela napas dengan raut wajah penuh rasa bersalah.
"Sapurane, Bu, sampun ngapusi Ibu. Aku ndak mau ibu khawatir teng kampung," lirihnya.
Hari-hari Sahira di sini rasanya semakin berat. Sahira tidak yakin bisa bertahan lama, tapi ia masih mempunyai keyakinan bahwa semua ini akan berubah menjadi lebih indah.
Rumah sebesar ini hanya dihuni olehnya dan Keniro. Satu pembantu dan satu pengurus kebun rumah. Mereka pun setiap sore kembali pulang ke rumah masing-masing. Kalau boleh jujur, Sahira kesepian. Ia sangat kesepian.
Andai saja Keniro tidak pulang malam setiap hari, andai saja Keniro mampu memberi perhatian kecil untuknya, sedikit saja kasih sayang untuk Sahira. Ia cukup bersyukur untuk itu dan seandainya ada malaikat kecil yang hadir di sini. Sahira mungkin tidak akan sekesepian ini.
Tangannya yang kecil bergerak mengusap perutnya yang masih rata. "Ibu menantikanmu, Nak. Tolong ya bujuk ayahmu supaya kamu bisa cepet ada di dunia ini. Ibu kesepian."
°°° k e n i r o °°°
Sahira masih sakit hati tentang masalah lipstik yang menempel di jas kerja suaminya, tapi bagaimana pun, Keniro tetaplah suaminya. Sahira juga ingin mencari tahu siapa wanita itu, tetapi ia tidak mempunyai koneksi teman-teman Keniro. Sahira benar-benar tidak diperkenalkan sebagai seorang istri kepada teman-teman Keniro. Diajak pergi pun tidak pernah. Karena itu Sahira tidak tahu siapa pun dan tidak tahu jalan. Ia seperti terkurung di istana megah ini.
Tidak heran jika Sahira merasa sekesepian ini.
"Ma-- tuan." Sahira segara bangkit ketika mendengar suara pintu terbuka.
Keniro baru saja pulang. Pukul sebelas malam dan Sahira selalu menunggu Keniro selarut apa pun itu.
"Tuan, mau makan apa? Saya sudah mas---"
"Tidak perlu. Saya sudah makan di luar."
"Baik." Sedikit kecewa karena lagi-lagi masakan Sahira tidak pernah dimakan oleh sang suami.
"Tuan, kenapa setiap hari pulang tengah malam? Apa banyak pekerjaan di kantor?"
Sahira mengikuti langkah kaki Keniro yang cepat itu. Ia ingin mengetahui banyak hal tentang sang suami. Karena selama ini mereka tidak pernah banyak bicara. Namun, lagi lagi pernyataan Sahira tidak dijawab.
"Tuan---"
"Apakah kamu tidak bisa diam dan berhenti mengganggu saya?"
Mereka berdua berhenti tepat di depan pintu kamar mereka. Sahira menatap Keniro dengan mata sendunya. "Aku mengganggumu, Tuan?"
"Ya, lagi, lagi, dan selalu," jawab Keniro tegas. "Tutup mulutmu, Sahira. Aku tidak bisa memberikan apa yang kamu mau."
"Kenapa? Kenapa, Mas?" Sejujurnya Sahira muak dengan panggilan tuan itu, kali ini ia ingin berhenti jika bisa.
"Karena aku tidak mencintaimu!"
Itu jelas. Sahira juga tahu itu, tapi kenyataan itu begitu menohoknya.
"Aku juga dulu begitu. Aku tidak mencintaimu, Mas, tapi aku berusaha mencintaimu karena kamu adalah suamiku."
Sahira tidak bisa menahan ini lagi. Tangisnya pecah dan air matanya berderai begitu deras. "Ndak bisakah kamu mengajakku bicara meski sebentar, Mas? Ndak bisakah kamu memberiku sedikit perhatian kecil? Aku menikah denganmu dan aku meninggalkan keluargaku di kampung untukmu, Mas."
"Aku kesepian, Mas. Aku butuh teman. Aku butuh perhatian. Aku ndak mau sendiri."
"Aku ... aku ... aku salah opo toh, Mas?"
TBC....
KAMU SEDANG MEMBACA
Living With Mr. Ken
Teen Fiction"Berhenti panggil saya, Mas! Panggil saya tuan, mengerti?" "Tapi, Mas. Mas kan suami aku dan aku bukan pelayan Mas yang harus memanggil tuan." "Tapi, saya tidak pernah menganggap kamu sebagai istri saya. Ya, saya memang menganggapmu pelayan. Tidak...