BAB 4 - KALAU BISA

61 12 9
                                    

Sahira salah apa?

Sejujurnya, Sahira tidak mempunyai salah apa pun, tapi Keniro tidak menyukainya.

Sahira gadis yang baik, lembut, juga penurut, ia juga lumayan cantik, ekhem. Harusnya Keniro bisa menerima Sahira menjadi istrinya lebih cepat. Namun, nyatanya tidak semudah itu.

Keniro yang baru berusia 28 tahun terus didesak orang tuanya untuk segara menikah. Keniro adalah pewaris tunggal keluarga dewangga, karena itu ayahnya terus mendesak Keniro untuk segara menikah agar penerus mereka tidak punah. Ia memiliki satu adik laki-laki, tapi adiknya tidak ingin menjadi penerus melainkan seorang seniman.

Tapi, Keniro benar-benar ingin melajang seumur hidupnya.

Semua ini tidak akan terjadi kalau ayahnya tidak pergi ke kampung di mana Sahira dulu tinggal. Di sana ayahnya bertemu dengan Sahira, karena Sahira membantunya menemukan rumah temannya dulu yang ternyata adalah rumah ayah Sahira.

Semua ini karena Sahira yang membantu ayahnya.

Alasan konyol memang, tapi karena itu pada akhirnya mereka menikah. Ayahnya menjodohkan mereka dan jika Keniro menolak, semua fasilitas yang Keniro dapat akan dicabut dan bukan ia yang mewarisi perusahaan keluarganya. Melainkan akan diberikan kepada Abbas, sepupu Keniro yang di mana mereka saling tidak menyukai sedari kecil.

Apa lagi setelah ibunya memaksa dan berkata jika Keniro menolak pernikahan ini maka ia tidak menyayangi ibunya. Padahal di dunia ini yang paling Keniro sayangi adalah ibunya.

Tidak ada pilihan lain dan Keniro harus menerima perjodohan itu.

Dengan amat terpaksa.

"Hallo, Dad." Keniro ada di dapur, larut malam, tengah duduk di meja makan sambil menyesap secangkir kopi sembari menerima telepon dari sang ayah.

"Halo, Ken. Gimana? Udah gas? Udah ada hasilnya?"

"Apa sih, Dad? Ya belum lah."

"Loh, kamu ini gimana? Udah sebulan lebih masa belum diapa-apain istrinya?"

"Bu-bukan begitu maksudnya, Dad. Aku ya, ya, udah gas. Tapi belum jadi bibitnya," dusta Keniro.

"Duh, payah. Dulu Daddy bikin kamu aja sekali main. Masa kamu harus berkali-kali belum jadi juga. Payah-payah."

"Yang penting usaha, Dad."

"Udah, besok Daddy kirimin jamu kuat. Jangan lupa diminum. Biar langsung topcer. Daddy nggak sabar nimang cucu."

"Daddy ngeraguin Ken?"

"Bukan begitu, tapi biar lebih nampol. Ya udah, kamu harus baik-baik sama istri kamu. Jangan bikin Sahira nangis. Dia perempuan baik-baik loh yang Daddy pilih buat kamu. Kamu sakitin Sahira, sama aja kamu sakitin mommy kamu."

"Iya, Dad."

Telepon dimatikan. Keniro langsung menghela napas berat. Ia jengah dengan orang tuanya yang terus menagih cucu. Tidak ayah tidak ibunya. Setiap hari menanyakan hal yang sama dan pesan ayahnya itu membuat Keniro sedikit berpikir.

Keniro sudah keterlaluan pada Sahira, istrinya sendiri. Bahkan sudah sebulan lebih mereka menikah, tapi Keniro tidak memberikan apa pun. Padahal Sahira sudah menjadi istri yang berbakti.

Masakan Sahira pun tidak pernah Keniro makan. Itu terdengar sangat jahat memang.

"Duh, laper," ujarnya sembari mengelus perut. "Tadi Sahira bilang, dia masak, kan?" gumamnya.

Keniro bangkit, ia membuka lemari untuk menyimpan makanan. Di sana ada ayam goreng, tumis buncis, dan sop. Semuanya masih utuh. Ada sedikit rasa bersalah. Mumpung Keniro lapar, ia ingin mencicipi makanan istrinya untuk pertama kali.

Keniro tidak berekspektasi lebih, tapi setelah satu suap ayam goreng masuk ke mulutnya. Ini benar-benar enak. Sungguh!

"Lama gue nggak makan masakan rumahan gini. Nggak buruk juga. Ternyata ist- ah Sahira pinter masak juga." Sampai detik ini pun, Keniro belum mengakui Sahira sebagai istrinya.

Karena lapar, Keniro mengambil nasi cukup banyak dan membawa semua lauk di meja makan. Ia makan dengan lahap sendirian seperti orang yang tidak makan tiga hari lamanya.

"Ah, gila! Enak banget!" Tanpa sadar Keniro mengatakan itu. Ia benar-benar menikmati hidangan ini.

Sahira sudah tidur, ia tidur di ruang tamu. Di sofa, sepertinya marah karena ucapan Keniro tadi malam. Mungkin ia terlalu kejam?

Selesai makan, Keniro mencuci semua piring kotor dan berniat tidur, tapi ketika melewati ruang tamu. Ia melihat Sahira tidur di sofa sambil meringkuk kedinginan. Pada awalnya Keniro menghiraukannya, tapi baru beberapa langkah ia ingin pergi. Tubuhnya malah berputar arah dan mendekati Sahira yang sudah tertidur.

Keniro menekuk kakinya, menatap Sahira lebih dekat. Rambut-rambut yang menghalangi wajahnya ia singkirkan ke belakang.

"Sahira, kamu tidak beruntung mendapat suami seperti saya. Saya tidak tahu cara mencintai. Saya pikir saya sudah mati rasa, tapi kalau kamu bisa membuat saya jatuh cinta. Kamu hebat. Kamu pemenangnya dan kamu adalah obat yang selama ini saya cari."

Tubuh kecil itu dengan pelan Keniro angkat dan ia bawa ke kamar mereka yang ada di lantai atas. Meski mendapat pergerakan seperti ini, Sahira sama sekali tidak terusik sampai Keniro berhasil membawanya ke kamar mereka dan meletakkannya di ranjang king size itu. Sahira masih setia terlelap dan wajahnya terlihat begitu lelah juga menyedihkan.

Malam ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Jika tidur sambil berpelukan pasti rasanya lebih nyaman. Namun, Keniro tidak melakukan itu. Ia memilih menyelimuti tubuh kecil sang istri dan melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Maafkan saya, Adik Kecil."

Usia mereka terpaut enam tahun dan Keniro menganggap Sahira masih begitu kecil untuk menjadi istrinya. Tapi Keniro akui, Sahira cukup percaya diri dan pemberani.

Selesai dengan itu, Keniro ikut berbaring, di sofa yang ada di dalam kamar ini tentunya dan menyelimuti dirinya sendiri. Mereka memang tidak pernah tidur satu ranjang.

°°° k e n i r o °°°

"Loh, kok aku tidur di sini?"

Sahira segara bangkit dari atas ranjang. Ia tidak tahu menahu kenapa ia ada di sana dan ini sudah pukul tujuh pagi. Sahira kesiangan.

"Astaghfirullah, aku belum bikin sarapan. Gimana nanti Mas Ken mau sarapan. Gimana nanti kalo dia tambah marah?" Sahira sungguh amat takut. Ia tidak ingin membuat Keniro marah lagi meski pun semalam Keniro sudah menyakitinya.

Biar bagaimana pun Sahira harus melayani suaminya dengan baik.

Tanpa memikirkan keamanannya Sahira berlari ke dapur hingga kecerobohannya hampir saja membuatnya terluka andai saja tidak ada orang yang dengan sigap menangkapnya.

"Kamu pikir ini lapangan bola untuk tempat berlari?" kesal Keniro.

"M-mas--- tuan, maaf. Aku kesiangan. Tu-tuan ingin sarapan apa?" tanya Sahira terbata-bata.

"Tidak perlu." Lagi, jawaban seperti itu. Sahira merasa tidak berguna menjadi seorang istri.

"Saya sudah masak sarapan. Makanlah," lanjutnya.

Tunggu? Sahira tidak salah dengar, kan?

"Tuan?"

"Maaf selalu membuatmu menunggu dan kesepian. Hari ini saya akan pulang lebih awal."

Puk puk puk

Tiga tepukan di puncak kepala Sahira membuatnya terdiam seribu bahasa.

Keniro, suaminya yang kaku dan dingin itu memasak untuknya? Meminta maaf dan mengusap kepalanya? Sahira tidak sedang bermimpi, kan?

SUAMINYA?

KENIRO ASTARA DEWANGGA?

TBC...

Wah, ada apa dengan Keniro?
Jangan lupa vote komen. Besok-besok aku update lagi.

Aku mau daftar kerja, doain ya aku keterima dan kerjaannya enak. Aku mau merantau soalnya. Huhu, semoga kuat LDR.

Kalo kalian punya pengalaman LDR gak? Coba dong ceritain 😖

Living With Mr. KenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang