(~ —з—)~ ~(—ε— ~)
“Vin,” panggil Naresha, kala mendapati putri semata wayangnya keluar dari kamar.Lavina yang pagi ini terlihat manis dengan bando mutiara, yang diselipkan di atas rambut panjangnya itu pun menoleh.
“Iya, Bu?” sahutnya tanpa menyadari kegundahan pada wajah lelah itu.
“Udah mau berangkat?”
“Iya, Bu, bentar lagi Morgan juga nyampe.”
Ekspresi wajah Naresha seketika berubah. Tidak ada lagi guratan hangat di sana, sinar matanya pun seperti menunjukkan ketidaksukaan.
“Ibu boleh ngomong sebentar?”
Lavina menatap Naresha, pintu rumah mereka yang terbuka, serta jam yang ada di dinding secara bergantian. Merasa waktu yang dimilikinya masih cukup banyak, Lavina pun mengangguk mengiyakan. Setelah itu dia pun digiring menuju kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu dan anyaman rotan.
“Ibu mau ngomong apa?” Lavina membuka pembicaraan, pasalnya hingga detik berganti, Naresha tak kunjung bersuara.
Melihat anaknya yang tampak tak sabaran, memaksa Naresha untuk menarik nafas. Setelahnya barulah Naresha bicara. “Jarak dari sekolah ke sini nggak terlalu jauh, Vin.”
“Maksudnya?”
“Ibu juga masih cukup mampu, buat membiayai ongkos sekolah kamu.”
Alis Lavina makin mengkerut. “Maksudnya apa ya, Bu? Vina nggak paham.” Jujurnya.
Sekali lagi Naresha menghela. “Ibu mau tanya, kamu nyaman nggak duduk di situ?”
Dengan raut kebingungan di wajahnya, Lavina memperhatikan kursi tempatnya dan sang Ibu duduk. Walau sedikit keras karena benar-benar terbuat dari kayu, tapi Lavina merasa nyaman nyaman saja, terlebih kursi ini sudah ada sejak ayahnya hidup.
Alhasil, tanpa pikir panjang, Lavina mangut-mangut kecil. “Nyaman kok.”
“Lebih nyaman mana sama sofa yang ada di rumah Keana, atau paling nggak Morgan?”
Tubuh Lavina seketika membeku. Walau terkesan ambigu, tapi otaknya secara tidak sadar terkoneksi dengan perkara kemarin siang. Memang benar tidak ada yang mengungkitnya dengan jelas, tapi mengingat bagaimana cara Samuel memperlakukannya dengan cara berbeda dari perlakuan yang Keana dan Sebastian terima, membuatnya sadar tentang perbedaan status mereka.
Dengan gerakan teratur, Lavina menjatuhkan wajahnya, hingga jarinya yang tengah saling memainkan terlihat di matanya. “Maksud Ibu apa ya, Vina nggak paham?” cicitnya.
Naresha menatap putrinya perihatin, tapi dia pun tak bisa melakukan banyak hal selain menerawang jauh ke depan. “Sejujurnya Ibu bahagia ngeliat kedekatan kamu sama Morgan. Ibu juga seneng karena Morgan bisa menepati janjinya buat menjaga dan bertanggungjawab sama kamu. Tapi sampe situ aja udah cukup, Vin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST CHANCE (On Going)
RomanceSebenarnya siapa yang memainkan waktu? Pertanyaan itu terus saja mengisi benak Keana, saat sekali lagi dia dibawa ke masa lalu, tepatnya masa abu-abu. Meski bingung tapi beruntunglah dia karena ingatan dari kehidupan keduanya masih tersimpan dengan...