2

301 50 4
                                    

Pagi itu, Lingling terbangun dengan keringat dingin. Mimpi buruk tentang masa lalunya menghantui. Dia melihat wajah-wajah korbannya yang terus memanggil, mengingatkan siapa dirinya. Namun, di tengah kekacauan itu, wajah Orm muncul, tersenyum manis seperti biasanya. Lingling menampar pipinya pelan, mencoba mengembalikan fokusnya.

Dia memutuskan, harus melakukan sesuatu, ini harus berakhir. Lingling harus menjauh dari Orm sebelum semuanya menjadi terlalu rumit. Namun, pikiran itu menabrak kenyataan. Ketika Lingling menatap kalender di mejanya, dia teringat janji pertemuan di pameran seni tempat Orm akan memamerkan instalasi baru nya.

Lingling segera bersiap dan langsung pergi mendatangi pameran. Di aula yang dipenuhi pengunjung, dia melihat Orm berdiri di tengah instalasi interaktif berjudul Fragment of  Light. Lingling terpaku. Karya itu adalah kombinasi cermin retak dan cahaya berwarna yang memantulkan ribuan bayangan, menciptakan efek menakjubkan.

 Karya itu adalah kombinasi cermin retak dan cahaya berwarna yang memantulkan ribuan bayangan, menciptakan efek menakjubkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu datang!" Orm menyapa dengan semangat

Lingling menelan ludah. "Tentu saja. Aku penasaran dengan karyamu."

Orm tersenyum lebar. Orm mengajak Lingling berkeliling, menjelaskan konsep dibalik setiap instalasi. Sambil mendengarkan, Lingling memperhatikan betapa murninya semangat Orm ketika berbicara tentang seni. Disaat seperti itu, dia tampak tak tersentuh oleh kegelapan dunia.

"Aku senang kamu disini, Ling. Aku merasa kita... terhubung," kata Orm pelan.

Kata-kata itu menusuk Lingling seperti pisau. Tidak ada yang pernah mengatakan hal semacam itu padanya. Lingling merasa ketakutan, bukan karena ancaman, tapi karena kemungkinan dia benar-benar merasakan hal yang sama.

.
.
.
.
.
.
.
.

Malam setelah pameran itu, Lingling duduk di kamarnya dengan tangan gemetar. Dihadapannya adalah folder penuh informasi tentang Orm—alamat, jadwal, semua detail yang dia kumpulkan sebelum memulai perburuan. Folder itu kini tampak seperti simbol dosa yang menjeratnya.

Dia mengambil pisau favoritnya dan memegangnya erat, mencoba membujuk dirinya untuk melanjutkan rencana.

"Hanya satu malam lagi," bisiknya.

Tapi hatinya melawan. Lingling menatap refleksinya di cermin.

"Apa yang salah dengan ku?"

Lingling mencoba mencari alasan, mencoba membenarkan perasaannya sebagai sesuatu yang sementara. Tapi memori Orm–senyumnya, suaranya, sentuhannya yang lembut saat mereka berjabat tangan di pameran–terus menghantui.

Dia mengalihkan perhatian dengan mengunjungi bar kecil di pinggiran kota, tempat biasanya dia merencanakan langkah berikutnya. Tapi kali ini, tidak ada strategi yang berhasil dia susun. Sebaliknya, pikirannya penuh dengan bayangan Orm yang tak terjangkau.

Ketika dia kembali ke apartemennya, Lingling akhirnya mengambil keputusan sulit. Dia harus pergi dari kota ini, meninggalkan Orm adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan dirinya dari kehancuran lebih dalam.

Namun, sebelum dia bisa mengemasi barang-barangnya, ponselnya berbunyi.Ternyata itu adalah pesan dari Orm.

Pesan dari Orm: "Aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

Lingling mematung. Pilihannya kini hanya dua. Berlari, atau menghadapi Orm dengan risiko menghancurkan mereka berdua.

.
.
.
.
.
.

Lingling tiba ditaman kecil yang sunyi, tempat Orm memintanya bertemu. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan bersinar terang, menerangi kursi kayu tempat Orm duduk. Lingling berjalan mendekat dengan napas tertahan.

"Hai," sapa Orm ketika melihatnya.

Lingling duduk disampingnya tanpa berkata apa-apa. Dia merasakan jantungnya berdetak terlalu cepat seperti drum yang tak terkendali.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," kata Orm, memecahkan keheningan. "Sejak kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak tau bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasa... nyaman dengan mu."

Lingling menunduk, tidak berani menatap Orm.
"Aku tidak seperti yang kamu pikirkan," gumamnya.

Orm tersenyum kecil. "Aku tidak peduli siapa kamu, Lingling. Aku hanya ingin tau apakah kamu juga merasakan hal yang sama."

Lingling merasa seluruh dunianya runtuh. Bagaimana dia bisa mengakui perasaannya sementara tangannya penuh dosa? Tapi saat Orm menyentuh tangannya, rasa hangat itu terlalu nyata untuk diabaikan.

"Aku tidak pantas untukmu," bisik Lingling. "Kamu tidak tau apa yang sudah kulakukan."

Orm menggeleng. "Kita semua punya masa lalu. Tapi yang penting adalah siapa kita sekarang, bukan?"

Lingling ingin percaya kata-kata itu, tapi bayangan dirinya sebagai pembunuh terus menghantuinya. Dengan hati yang bimbang, dia memutuskan untuk memberi Orm kesempatan terakhir–dan dirinya sendiri–untuk merasakan cinta yang mungkin bisa mengubah segalanya.





Bersambung...

Bantu vote ya mantemann

Bayang-Bayang Dibalik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang