7

192 40 3
                                    

Lingling dan Orm bekerja tanpa henti sepanjang hari. Mereka memperkuat kabin, memeriksa senjata yang tersedia, dan menyiapkan jebakan sederhana di area sekitar kabin. Lingling yang biasanya menyimpan kekhwatiran nya sendiri, merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ketika Orm membantunya, meski tangan Orm gemetar, Lingling menyadari betapa besar tekad wanita itu.

"Kamu tidak perlu melakukan ini," kata Lingling ketika Orm mencoba menarik busur kawat untuk jebakan. Jika ini adalah perang,

Orm menoleh, menatapnya serius.
"Aku tau, tapi aku memilih untuk melakukannya."

Jawaban itu membuat hati Lingling menghangat, meskipun dia tau bahaya di depan mereka terlalu besar. Jika ini adalah perang, maka mereka harus siap menghadapi apapun.

Saat malam tiba, kabin terasa lebih sunyi dari biasanya. Lingling memeriksa setiap sudut, memastikan semuanya aman. Saat Lingling kembali ke ruang utama, dia melihat Orm duduk di lantai, dan memegang salah satu senjata dengan tangan gemetar.

"Aku takut, Ling." lirih Orm tanpa menoleh.

Lingling mendekatinya, berlutut di sampingnya. Dia menyentuh tangan Orm dengan lembut, membuat senjata itu perlahan jatuh dari genggamannya.

"Rasa takut itu wajar," kata Lingling. "Itu menunjukkan kalau kamu masih merasa peduli."

Orm menatapnya, matanya penuh dengan air mata.
"Aku tidak ingin kehilanganmu."

Lingling menarik Orm kedalam pelukannya.
"Kamu tidak akan kehilanganku, aku berjanji."

Malam itu, mereka tidur dalam pelukan satu sama lain di sofa tua yang sempit. Lingling tetap terjaga, mendengarkan suara-suara dari luar, selalu siap untuk bahaya yang mungkin akan datang. Untuk pertama kalinya, Lingling merasa tidak sendirian dalam pertarungan ini.

Ketika suara kaca pecah menggema di kabin, Orm langsung terbangun mendengar itu. Lingling mendorong Orm untuk berlindung di bawah meja kayu, lalu mengambil pisau dan pistolnya.

"Jangan keluar, apapun yang terjadi."
bisik Lingling.

Dua pria masuk dari jendela yang pecah, mengenakan pakaian hitam dan membawa senjata. Lingling bergerak cepat, menyerang pria pertama sebelum pria itu sempat menembak. Pisau di tangannya bergerak dengan presisi, membuat pria itu terjatuh dalam sekejap.

Pria kedua mencoba menembak, tetapi Lingling segera berguling ke belakang sofa, menggunakan sofa itu sebagai perisai. Dia membidik dan menembakkan satu peluru yang tepat mengenai kaki pria itu.

Namun, sebelum Lingling bisa bergerak lebih jauh, suara langkah kaki diluar pintu membuatnya tau ini belum berakhir.

"Orm!" teriaknya. "Pergi ke ruang bawah tanah sekarang!"

(Keruang bawah tanah harus keluar dari kabin dulu)

Orm, yang telah memegang keberanian, merangkak keluar dari bawah meja. Namun, saat dia mencoba lari ke ruang bawah tanah, pintu kabin tiba-tiba terbuka lebar.

Orm berhadapan seorang pria yang berdiri di sana–lebih tinggi dan lebih besar dari siapapun yang pernah mereka hadapi sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Orm berhadapan seorang pria yang berdiri di sana–lebih tinggi dan lebih besar dari siapapun yang pernah mereka hadapi sebelumnya. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya dingin, penuh niat membunuh.

"Lingling," kata pria itu dengan nada mengejek. "Kamu benar-benar tau bagaimana membuat segalanya lebih menarik."

Lingling mengarahkan pistolnya pada pria itu.
"Jangan mendekat."

Pria itu hanya tersenyum kecil sebelum melangkah maju, tanpa rasa takut. Lingling menembak, tetapi pria itu bergerak dengan cepat, menghindari peluru pertama dan meraih meja kecil, melemparkan ke arah Lingling.

Orm berteriak, tetapi dia tidak mundur. Ketika pria itu mendekat ke arahnya, Orm meraih pistol kecilnya dan menembak tanpa berpikir. Peluru itu mengenai bahu pria tersebut, membuatnya terhuyung.

"Kau berani juga." Kata pria itu sambil menatap Orm dengan senyum dingin.

Lingling menggunakan momen itu untuk menyerang, mengarahkan pisaunya ke pria itu. Mereka bertarung dengan sengit, suara dentingan logam memenuhi ruangan. Orm tetap di sudut, memegang pistolnya dengan gemetar, siap membantu kapan saja.

Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, Lingling berhasil menjatuhkan pria itu. Dengan napas tersengal, dia berdiri di samping tubuh pria itu, memastikan pria itu tidak akan bangkit lagi.

Namun, sebelum Lingling mengatakan apa pun, Orm berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

"Aku pikir aku akan kehilanganmu," kata Orm, terisak.

Lingling memeluknya kembali, meskipun tubuhnya masih gemetar karena pertarungan itu.
"Kamu tidak akan pernah kehilangan aku," katanya pelan. "Aku janji."

















Pagi itu, kabin mereka dipenuhi dengan keheningan. Mayat-mayat telah diurus, dan Lingling memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Orm duduk di tangga depan, memandangi matahari terbit, sementara Lingling duduk disampingnya.

"Kita tidak bisa tinggal di sini lagi,"
Kata Lingling akhirnya.

Orm mengangguk.
"Aku tau, aku akan pergi kemana pun kamu pergi."

Lingling menoleh, menatap wanita yang mengubah hidupnya. Orm, meskipun terlihat lelah dan rapuh, ia memiliki kekuatan yang Lingling tidak pernah temukan dalam dirinya sendiri.

"Kamu tau ini tidak akan mudah, kan?" Kata Lingling.

Orm tersenyum kecil. "Aku tidak pernah menginginkan yang mudah, aku hanya ingin kamu."

Lingling mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Orm.
"Aku akan melindungimu, apapun yang terjadi."

Orm menatap Lingling dengan penuh cinta. "Dan aku akan selalu percaya padamu."

Dengan itu, mereka memutuskan untuk pergi, meninggalkan kabin kecil yang penuh kenangan baik dan buruk. Mereka tau bahwa masa depan mereka penuh ketidakpastian, tetapi mereka juga tau satu hal–cinta mereka akan menjadi kekuatan yang membawa mereka melewati segala rintangan.

Bersambung...

Bayang-Bayang Dibalik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang