Lingling memulihkan dirinya setelah pertarungan di gudang itu.
Malam itu dingin di pegunungan. Kabin kecil mereka hanya diterangi cahaya redup dari perapian. Orm duduk di sofa tua, memeluk lututnya sambil memandangi api yang menari-nari. Lingling berdiri di dapur, sedang membuat teh hangat."Tehnya hampir jadi," kata Lingling, berusaha menghilangkan kesunyian yang menggantung.
Orm menoleh, tersenyum tipis.
"Kamu selalu sibuk melindungiku. Kapan kamu membiarkan dirimu beristirahat?"Lingling tertawa kecil, suara yang jarang terdengar.
"Aku tidak tau cara istirahat, selalu ada sesuatu yang harus dipikirkan."Orm berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Tapi kamu tidak harus melakukannya sendirian, Ling."Lingling terdiam saat Orm berdiri dihadapannya, menatapnya dengan mata lembut penuh rasa kasih sayang. Tangan Orm menyentuh pipi Ling, menyentuh luka kecil yang baru saja sembuh setelah pertarungan di gudang.
"Kamu selalu menjaga ku," kata Orm pelan. "Tapi siapa yang menjaga kamu?"
Lingling ingin menjawab, tetapi suaranya hilang. Sentuhan Orm terasa seperti sesuatu yang asing baginya–hangat, tulus, dan sekaligus membuatnya rapuh.
Orm mendekatkan wajahnya, jantung mereka hampir berdetak di irama yang sama. "Kamu boleh istirahat sekarang," bisik Orm sebelum menyentuhkan bibirnya ke bibir Lingling dengan lembut.
Ciuman itu lambat dan penuh rasa, rasanya waktu disekitar mereka berhenti sejenak. Lingling merasakan sesuatu yang lebih dalam, ini bukan hanya sekedar keterikatan. Ini adalah cinta, sesuatu yang selalu dia tolak karena takut akan kehancurannya sendiri.
Ketika bibir mereka akhirnya berpisah, Lingling menatap Orm dengan mata yang penuh keraguan sekaligus kejujuran.
"Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.""Aku juga," jawab Orm dengan senyuman kecil. "Tapi aku tau satu hal–aku mencintaimu, Ling."
"Aku juga mencintaimu, Orm."
kata Lingling lembut. Lingling menghela napas panjang, perasaan hangat membanjiri dirinya.
"Aku akan mencoba untuk mencintaimu dengan cara yang benar. Tapi aku tidak tau, apakah aku bisa melakukannya.""Kamu sudah melakukannya," kata Orm. "Kamu tinggal disini bersamaku, melindungi kita, dan berusaha berubah. Itu semua lebih dari cukup."
Lingling memeluk Orm erat, merasakan ketenangan untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Tetapi didalam hatinya, dia tau bahwa kebahagiaan ini rapuh. Bahaya masih mengintai, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang akan datang.
Keesokan harinya, Lingling bangun lebih awal seperti biasa. Orm masih terlelap, wajahnya terlihat damai. Lingling duduk di kursi dekat jendela, melihat jalan setapak yang ada diluar.
Tapi sesuatu menarik perhatiannya–jejak kaki di salju yang tidak ada semalam.
Naluri Lingling langsung menyala. Dia mengambil pisaunya dan perlahan keluar dari kabin, mengikuti jejak itu hingga ke hutan terdekat. Disana dia menemukan sesuatu yang membuatnyan membeku sebentar.
Sebuah simbol dicat di batang pohon, simbol yang dia kenali, simbol dari organisasi lamanya.
Lingling langsung bergegas kembali ke kabin. Orm sudah bangun, melihat Lingling yang dari luar terengah-engah, Orm langsung bertanya.
"Apa yang terjadi?"Lingling menarik napas panjang.
"Mereka menemukan kita."Wajah Orm memucat, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Sebaliknya, dia menggenggam tangan Lingling dengan erat.
"Kalau begitu, kita hadapi mereka bersama."Lingling menatap Orm, merasa hatinya semakin berat. Dia tahu bahwa melibatkan Orm dalam bahaya ini adalah risiko besar. Tapi cinta mereka, meskipun baru, memberi Lingling kekuatan untuk menghadapi apa pun.
"Mereka tidak akan mengambil kamu dariku," kata Lingling tegas.
Orm mengangguk.
"Dan aku tidak akan membiarkan mereka mengambil kamu dariku."Mereka berdua saling menatap, penuh tekad. Apa pun yang terjadi, mereka akan melawan bersama—dengan cinta sebagai senjata terkuat mereka.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayang-Bayang Dibalik Cinta
FanfictionSeorang pembunuh bayaran dingin bernama Lingling Alista Kwong terjebak dalam dilema ketika dia jatuh cinta pada Orm Calliandra, wanita yang seharusnya menjadi targetnya. Dalam pelarian dari ancaman mematikan, mereka harus menghadapi musuh bersama, m...