4

217 35 2
                                    

Tubuh pria itu tak bergerak di lantai apartemen Orm. Lingling berdiri diam, mendengar suara napasnya sendiri yang berat. Pisau di tangannya berlumuran darah, tetapi pikirannya hanya terpaku pada Orm, yang berdiri mematung di sudut ruangan.

"Kita harus pergi," kata Lingling akhirnya, suaranya terdengar dingin dan tegas.

Orm yang tampak bingung dan ketakutan, akhirnya mengangguk.
"kemana?"

"Jauh dari sini. Mereka akan tau ini bukan kecelakaan," jawab Lingling sambil mengelap pisaunya dan menyembunyikannya di balik jaketnya. Dengan cepat, dia menarik  keluar dari apartemen, meninggalkan tubuh pria itu tanpa menoleh.

Malam itu, mereka naik kereta menuju kota kecil di pinggiran. Orm terus diam selama perjalanan, sesekali menatap Lingling dengan pertanyaan yang tak terucapkan. Lingling menyadari itu, namun Lingling merasa ini bukan saatnya menjelaskan semuanya. Fokusnya adalah menjauh, menyembunyikan jejak mereka.

















Akhirnya mereka tiba di sebuah motel tua di tepi kota pada dini hari. Lingling menyewa kamar kecil dengan uang tunai, memastikan tidak ada catatan yang menghubungkan mereka ke tempat itu.

Saat mereka masuk ke dalam kamar, Orm akhirnya bicara.
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam? siapa orang itu? apakah dia bagian dari masa lalu mu?"

Lingling menghelas napas dan menatap mata Orm yang dipenuhi ketakutan, namun terlihat juga ada rasa penasaran dan percaya diri.
"Ya, dia bagian dari masa laluku. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka memastikan aku tidak melawan mereka."

Orm yang mendengar itu langsung menggenggam tangan Lingling.
"Ayo kita hadapi bersama, aku tidak peduli apapun itu. Aku hanya ingin kita tetap bersama."

Kata-kata itu membuat hati Lingling menghangat, tapi dia tau kenyataan jauh lebih rumit. Mereka mungkin selamat malam ini, tapi bahaya masih mengintai diluar sana.

Keesokan harinya, Lingling bangun lebih awal untuk memastikan semuanya aman. Dia memeriksa koran lokal, berharap tidak ada berita tentang tubuh di apartemen Orm. Namun, dia tau waktu mereka terbatas. Orang-orang itu pasti akan mencarinya.

Saat Orm terbangun, ia melihat Lingling sudah duduk di meja kecil  di sudut kamar, dan sudah ada beberapa makanan di meja itu. Orm segera mendatangi Ling.
"Good morning," ujar Orm sambil tersenyum manis.

Setelah mendengar suara Orm, Ling langsung menoleh ke arah Orm.
"Morning too." balas Ling

Orm segera duduk di kursi sebelah Lingling.

"Kita harus membuat rencana," kata Ling tanpa basa-basi.

Orm mengangguk, meskipun jelas terlihat dia masih berusaha mencerna situasi ini.
"Apa yang akan kita lakukan?"

Lingling menatap wajah Orm.
"Aku harus menghadapinya sendiri. Aku tidak bisa terus melibatkanmu."

"Tidak," kata Orm dengan tegas.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri. Apapun yang terjadi, kita akan melaluinya bersama."

Lingling terdiam, terkejut oleh perkataan dan keberanian Orm. Dia tidak pernah bertemu seseorang yang begitu tulus mempertaruhkan segalanya untuknya. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin takut.

"Mereka tidak seperti orang biasa, Orm. Mereka tidak punya belas kasihan. Jika aku gagal melindungimu, ak-"

"Kamu tidak akan gagal," Orm memotong. Dia menggenggam tangan Lingling dengan erat. "Aku percaya padamu. dan aku tidak akan pergi kemana-mana."

Lingling menghela napas panjang. Dia tau tidak ada cara untuk meyakinkan Orm agar pergi. Pilihan satu-satunya adalah menghadapi masa lalunya, kali ini dengan alasan yang berbeda. Yaitu untuk melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya.

Namun, dia tidak tau bahwa musuhnya juga sudah merencanakan langkah berikutnya.
















Hari itu, Lingling membawa Orm ke sebuah gedung tua yang dulu dia gunakan sebagai tempat persembunyian. Gudang itu berada di area yang terpencil, dikelilingi oleh pepohonan lebat, dan hanya sedikit orang yang tau keberadaannya.

Lingling memastikan semuanya aman sebelum mereka masuk. Di dalam, dia membuka sebuah kotak besi yang berisi senjata dan perlengkapan lain yang dia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Melihat semua itu lagi membuat Lingling merasa mual, tapi dia tau dia harus siap.

"Kamu tau bagaimana menggunakan ini?" Lingling bertanya sambil menunjukkan pistol kecil pada Orm.

Orm menggeleng. "Aku tidak pernah menyentuh senjata sebelumnya."

Lingling menghela napas, lalu mulai mengajarinya cara menggunakan pistol itu.
"Aku berharap kamu tidak perlu memakainya, tapi jika sesuatu terjadi, aku ingin kamu siap."

Orm mengangguk, meskipun jelas terlihat bahwa dia tidak nyaman.

Namun, sebelum mereka bisa menyelesaikan persiapan, Lingling mendengar ada suara mobil mendekat. Lingling langsung waspada, menarik Orm untuk bersembunyi di balik tumpukan kayu tua.

"Ada apa?" tanya Orm kebingungan.
"Diam," jawab Ling sambil terus fokus ke arah pintu gudang itu.

Beberapa saat kemudian, pintu gudang terbuka. Tiga pria masuk, masing-masing membawa senjata. Salah satu dari mereka adalah pria yang dikenali Lingling, yaitu mantan rekannya. Seseorang yang dulu sering bekerja bersamanya.

"Kami tau kamu di sini, Lingling!" salah satu pria itu berteriak. "Kamu tidak bisa lari lagi."

Lingling merasakan adrenalin nya memuncak. Dia menarik pisau yang berada di balik jaketnya dengan perlahan, mempersiapkan diri untuk apapun yang akan terjadi. Kali ini, dia tau pertarungan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri–tapi juga untuk Orm.


Bersambung...

Bayang-Bayang Dibalik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang