Lorong pohon yang menjulang seperti gerbang dunia lain itu membawa Mikhael dan teman-temannya ke dalam suasana yang semakin ganjil. Semakin jauh mereka melangkah, tanah di bawah kaki mereka terasa lebih lembap, bahkan sebagian becek seperti rawa. Udara dingin menusuk tulang, meskipun mereka berjalan cukup rapat.
Pohon-pohon di sekelilingnya tampak aneh, seperti memiliki pola yang menyerupai wajah-wajah samar—wajah dengan ekspresi ngeri atau putus asa. Beberapa di antaranya terlihat seperti menangis. Namun, yang paling mengerikan adalah patung-patung batu yang mulai bermunculan di sepanjang jalan setapak. Patung-patung itu tidak rata dan kasar, bentuknya hampir menyerupai manusia, tapi tidak sempurna. Ekspresinya seperti sedang menderita, beberapa menunduk, dan lainnya seolah sedang berteriak kesakitan.
Farrel berhenti dan menunjuk salah satu patung. "Lihat ini, deh. Apa ini manusia yang jadi batu? Serem banget."
"Jangan mulai ngomong yang aneh-aneh," potong Rayyan dengan nada tegas, meski matanya tak lepas dari patung itu. "Ini cuma patung biasa. Mungkin dibuat sama orang-orang zaman dulu."
Namun, Nara tidak bisa menahan diri untuk bergidik. "Kok rasanya... kayak mereka mengawasi kita?" Ia melangkah lebih dekat ke Darren, mencari rasa aman.
"Aku nggak suka ini. Tempat ini salah," tambah Darren, mencoba menenangkan Nara tapi suaranya sendiri terdengar gemetar.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan," kata Mikhael, memimpin mereka terus berjalan. Namun, jauh di dalam dirinya, ia pun merasa ada sesuatu yang keliru.
Lorong itu akhirnya membawa mereka ke sebuah tempat terbuka di tengah hutan. Pohon-pohon besar berhenti di tepi lingkaran alami, meninggalkan ruang kosong yang luas. Di tengah-tengahnya ada sebuah danau kecil yang terlihat sangat jernih. Airnya memantulkan bayangan langit dan pepohonan di sekitarnya, tetapi ada sesuatu yang salah dengan permukaannya. Pantulan air itu tampak bergerak, meskipun angin tidak berhembus.
"Apa itu...?" tanya Aryan, matanya menyipit mencoba memahami keanehan di depannya.
Sebelum ada yang menjawab, sebuah suara terdengar dari arah danau. Suara itu bergema, pelan namun jelas, seperti seseorang yang berbicara langsung ke pikiran mereka.
"Mikhael... bantu kami... bebaskan kami..."
Mereka semua terdiam. Suara itu bukan hanya terdengar; suara itu terasa. Seolah menggema di dalam tubuh mereka, menggetarkan jantung mereka.
“Mikhael…” Suara itu bergema lagi, lebih keras kali ini, seakan benar-benar ditujukan kepadanya.
Mikhael mundur satu langkah, kaget. Ia memandang danau itu dengan tatapan bingung. "Siapa itu? Apa yang kau inginkan?"
Nara mendekat, menggenggam lengan Mikhael dengan erat. "Itu... itu suara seseorang. Aku kenal suara itu," bisiknya dengan nada panik.
Rayyan mencoba mencari akal. "Tenang, mungkin itu cuma gema atau halusinasi. Jangan terlalu didengar." Tapi suaranya sendiri terdengar tidak yakin.
Namun, semakin mereka memperhatikan danau itu, semakin suara itu terdengar nyata. Kali ini, suara itu mulai menyerupai berbagai nada dan nada, seperti banyak orang berbicara sekaligus.
Kemudian, permukaan danau itu bergelombang meskipun tidak ada angin. Dari dalam air, muncul bayangan seperti wajah-wajah manusia yang melayang, berkedip sebelum menghilang kembali. Suara-suara itu semakin intens, kini terdengar lebih putus asa.
“Mikhael… kau yang terpilih… kau harus bebaskan kami…”
Mikhael maju satu langkah, seperti tersihir. "Kenapa aku? Apa maksudnya?" tanyanya, seolah berbicara kepada danau.
"Mikhael, jangan dekati itu!" seru Aryan, menarik lengannya. Namun, tiba-tiba, dari balik pepohonan di tepi danau, muncul sebuah bayangan besar.
Sosok itu begitu tinggi, lebih besar daripada manusia biasa, tubuhnya tampak terbuat dari kabut gelap dan bayangan pekat. Bentuknya samar, tetapi dua mata merah menyala menonjol di tengah-tengah kepalanya yang tak berbentuk.
"Apa itu?" Farrel mundur beberapa langkah, wajahnya pucat pasi.
Sosok itu bergerak perlahan, tidak berjalan melainkan melayang, seolah-olah tidak terikat oleh hukum dunia nyata. Suara dari danau berhenti seketika, digantikan oleh suara rendah yang bergetar di udara.
“Mikhael…” suara itu berkata, kali ini datang dari sosok bayangan. “Kau yang terpilih untuk membebaskan mereka…”
Mikhael menatap sosok itu dengan bingung dan takut. "Aku tidak mengerti. Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"
Bayangan itu mendekat, membuat udara di sekitar mereka semakin dingin. Rasanya seperti semua energi ditarik keluar dari tubuh mereka. Namun, sebelum sosok itu bisa mengatakan lebih banyak, ia tiba-tiba menghilang, seolah larut ke dalam udara.
Keheningan kembali menyelimuti tempat itu, tetapi perasaan tertekan tetap ada.
"Kita harus pergi dari sini," ujar Darren dengan suara parau. "Tempat ini bukan untuk kita."
"Ya," tambah Nara, yang kini gemetar. "Aku nggak tahu apa itu, tapi aku nggak mau tahu lebih banyak lagi."
Mikhael mengangguk, meskipun dalam hati ia masih merasa ada sesuatu yang harus ia temukan di sini. Namun, ia tahu bahwa memaksa teman-temannya untuk tinggal lebih lama hanya akan memperburuk keadaan.
"Baik," katanya akhirnya. "Kita keluar dari sini dulu."
Namun, ketika mereka mencoba kembali ke jalan yang mereka lalui sebelumnya, lorong pohon itu sudah tidak ada. Jalan setapak yang mereka kenal telah menghilang, digantikan oleh dinding pohon yang rapat dan gelap.
Mereka terjebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hutan Terlarang (by Michelina)
Short Storyseorang pria yang tidak tau apa² tentang hutan yang di bicarakan masyarakat tetapi ia harus berkorban untuk membebaskan jiwa² yang terperangkap di hutan itu.