Malam itu di tengah hutan, Mikhael berdiri di depan lingkaran besar yang dibuat dari batu-batu tua. Cahaya remang bulan menembus sela-sela dahan pohon, memberikan sedikit penerangan pada kabut gelap yang menyelimuti tempat itu. Di tengah lingkaran, terlihat bayangan jiwa-jiwa yang melayang, dengan mata kosong dan ekspresi penuh keputusasaan. Suara mereka terdengar seperti bisikan yang menyayat hati.
Mikhael menggenggam buku tua yang telah mereka temukan di reruntuhan desa terlarang. Buku itu penuh dengan mantra kuno, tetapi tidak ada petunjuk jelas bagaimana cara membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap di hutan ini.
“Ini gila, Mikhael,” Darren berbisik. “Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu ngelakuin ini.”
“Tapi kita nggak punya pilihan lain,” balas Mikhael dengan suara tegas. Ia memandang teman-temannya satu per satu, mencoba meyakinkan mereka. “Kalau kita nggak coba, jiwa-jiwa ini akan tetap terperangkap di sini. Dan kita juga bisa terjebak selamanya.”
Farrel, yang biasanya selalu penuh rasa penasaran, tampak ragu. Ia menatap ke arah lingkaran batu, lalu ke Mikhael. "Kamu yakin kita nggak bakal kehilangan kamu di sini? Apa yang terjadi kalau mereka nggak mau pergi?"
Rayyan, yang berdiri agak jauh, menambahkan dengan nada sinis, “Atau lebih buruk lagi, kalau hutan ini nggak membiarkan kita keluar?”
Aryan, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kita nggak bisa mundur sekarang. Kalau kita biarin ini, kita nggak cuma ninggalin jiwa-jiwa itu, tapi juga menyerah pada kutukan hutan ini. Mikhael benar. Kita harus coba.”
Nara memandang Mikhael dengan mata berkaca-kaca. “Kita semua di sini karena kamu, Mikhael. Jangan buat aku kehilangan kamu.”
Mikhael tersenyum tipis, mencoba menenangkan Nara. “Aku janji, aku nggak akan kemana-mana. Tapi aku harus lakuin ini. Ini bukan cuma soal mereka,” ia menunjuk ke arah bayangan jiwa-jiwa itu. “Ini juga soal kita. Kalau kita mau keluar dari sini hidup-hidup, aku harus ngelakuin ini.”
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mikhael membuka buku tua itu. Mantra di dalamnya ditulis dalam bahasa yang tidak sepenuhnya ia pahami, tetapi entah bagaimana, ia merasa bahwa ia tahu apa yang harus dilakukan.
Ia mulai membaca, suaranya gemetar di awal, tetapi semakin lama semakin tegas. Kata-kata itu terasa seperti memanggil sesuatu yang lebih besar dari mereka semua. Udara di sekitar mereka berubah menjadi berat, dan kabut di hutan semakin tebal. Jiwa-jiwa itu mulai bergerak, melayang ke arah lingkaran batu dengan gerakan lambat namun pasti.
Tiba-tiba, salah satu jiwa berbicara, suaranya seperti dua dunia yang bertabrakan. “Kamu pikir ini cukup, manusia?”
Mikhael terdiam, kaget. “Aku... aku ingin membebaskan kalian. Bukan menahan kalian.”
Jiwa itu tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar seperti jeritan. “Kebebasan bukan hal yang mudah diberikan. Untuk membebaskan kami, kau harus mengorbankan sebagian dari dirimu sendiri. Apa kau siap?”
“Apa yang harus aku korbankan?” Mikhael bertanya dengan suara pelan.
“Rasa takutmu. Rasa cintamu. Semua yang mengikatmu pada dunia ini.”
Teman-temannya langsung bereaksi.
“Jangan, Mikhael!” seru Darren.
“Ini jebakan,” tambah Farrel.
Namun, Mikhael tidak mundur. Ia memejamkan matanya, mengingat semua hal yang selama ini ia takuti: kegelapan, kesepian, kehilangan. Ia juga mengingat rasa cintanya pada dunia luar—pada teman-temannya, pada kehidupan yang ingin ia lindungi.
“Aku terima,” katanya akhirnya.
Seketika, lingkaran batu bersinar terang, membuat semua orang menutup mata. Jiwa-jiwa itu mulai memancarkan cahaya keemasan, satu per satu menghilang ke udara, seperti debu yang tertiup angin. Suara tangisan mereka berubah menjadi bisikan terima kasih.
Mikhael merasakan sesuatu yang berat meninggalkan tubuhnya, seolah-olah sebagian dari dirinya sendiri telah lenyap bersama jiwa-jiwa itu. Ketika ia membuka matanya, lingkaran batu itu kosong. Hutan yang sebelumnya penuh kabut kini terlihat lebih terang, lebih hidup.
“Mikhael!” Nara berlari ke arahnya, memeluknya dengan erat. “Kamu nggak apa-apa?”
Mikhael tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja. Tapi...” ia memandang ke sekeliling. “Hutan ini belum selesai. Masih ada sesuatu yang lebih besar di sini.”
Aryan mengangguk pelan. “Kamu benar. Rasanya ini baru permulaan.”
Farrel melirik buku tua itu, yang kini terlihat kosong, tanpa tulisan apa pun di dalamnya. “Kalau ini baru permulaan, apa yang bakal kita hadapi selanjutnya?”
Mikhael menghela napas panjang, memandang ke arah kegelapan di balik pepohonan. Ia tahu, hutan ini masih menyimpan rahasia yang lebih kelam. Tapi untuk saat ini, mereka selamat.
“Kita selesaikan ini, apa pun yang terjadi,” kata Mikhael akhirnya, dengan suara penuh keyakinan.
Dan dengan itu, mereka semua tahu bahwa perjalanan mereka di hutan ini masih jauh dari kata selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hutan Terlarang (by Michelina)
Short Storyseorang pria yang tidak tau apa² tentang hutan yang di bicarakan masyarakat tetapi ia harus berkorban untuk membebaskan jiwa² yang terperangkap di hutan itu.