Terungkapnya Takdir

2 1 0
                                    

Mikhael dan teman-temannya terus menyusuri jalan setapak yang semakin membawa mereka ke dalam hutan. Langkah mereka terhenti ketika sebuah pemandangan aneh muncul di hadapan mereka. Di tengah hamparan tanah kosong, berdiri sebuah altar batu besar yang diselimuti lumut. Altar itu tampak sangat tua, seakan telah ada di sana selama berabad-abad.

"Apa ini?" gumam Darren sambil mendekati altar dengan hati-hati.

Mikhael melangkah lebih dekat, matanya tertuju pada tulisan samar yang terpahat di permukaan batu itu. Tulisan tersebut tampak seperti simbol-simbol kuno yang tidak dapat ia pahami. “Ini sepertinya... bahasa yang sudah lama hilang,” ujarnya, tangannya terulur untuk menyentuh batu tersebut.

“Mikhael, jangan disentuh!” Nara memperingatkan, suaranya penuh kekhawatiran.

Namun, sebelum Mikhael dapat menarik tangannya, jari-jarinya telah menyentuh batu itu. Dalam sekejap, seluruh altar bersinar terang dengan cahaya yang menyilaukan. Energi besar keluar dari batu itu, menciptakan pusaran angin yang membuat mereka semua terdorong mundur.

"Apa yang terjadi?!" Aryan berteriak, mencoba menjaga keseimbangannya.

Pusaran itu semakin kuat, membawa mereka semua jatuh ke tanah. Saat Mikhael membuka matanya, pemandangan di sekitarnya telah berubah. Ia kini berdiri sendirian di sebuah dunia gelap, dikelilingi kabut tebal dan suara-suara bisikan yang menyeramkan. Bayangan-bayangan samar muncul dari kabut, membentuk wajah-wajah yang penuh penderitaan.

“Mikhael… selamat datang,” suara familiar itu terdengar, menggema di udara.

Mikhael menoleh ke arah suara tersebut. Dari dalam kabut, muncul sosok seorang pria. Wajahnya tampak akrab, seolah Mikhael pernah bertemu dengannya, tetapi ia tidak dapat mengingat di mana. Sosok itu tampak seperti manusia, tetapi auranya gelap dan penuh dengan keputusasaan.

“Kau akhirnya sampai di sini,” ucap pria itu, matanya tajam menatap Mikhael. “Kau adalah orang yang terpilih untuk menghentikan penderitaan kami.”

“Siapa kau? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Mikhael, mencoba memahami situasi aneh ini.

Pria itu mendekat, suaranya melembut namun tetap terasa mengintimidasi. “Kami adalah jiwa-jiwa yang terperangkap di tempat ini. Dahulu, kami seperti kalian—manusia yang memasuki hutan ini tanpa tahu apa yang menanti. Tapi hutan ini... ini bukan hanya sekadar tempat. Ini adalah perangkap yang mengurung siapa saja yang melangkah terlalu jauh. Dan sekarang, kau satu-satunya harapan kami.”

“Harapan untuk apa?” Mikhael bertanya, bingung.

“Untuk membebaskan kami,” jawab pria itu, suaranya penuh keputusasaan. “Kutukan ini mengikat kami di sini. Kami tidak bisa keluar, tidak bisa beristirahat. Jiwa kami terperangkap, dan hanya kau yang memiliki kekuatan untuk memutuskan ikatan ini.”

Mikhael menggelengkan kepala, langkahnya mundur perlahan. “Aku tidak mengerti. Kenapa aku? Apa yang harus kulakukan?”

Pria itu mendekat lebih jauh, matanya penuh permohonan. “Altar itu bukan sekadar batu. Itu adalah kunci untuk memutuskan kutukan ini. Tapi untuk melakukannya, kau harus menerima takdirmu. Kau harus menjadi penghubung antara dunia kami dan dunia kalian.”

“Penghubung?” Mikhael mengulangi, suaranya semakin lemah.

Pria itu mengangguk. “Tugas ini tidak mudah, Mikhael. Tapi jika kau menolak, kutukan ini akan terus bertahan. Hutan ini akan terus mengambil korban, termasuk teman-temanmu.”

Mendengar itu, Mikhael merasa napasnya tercekat. “Teman-temanku… mereka di mana?”

“Masih terperangkap di batas dunia ini,” jawab pria itu. “Jika kau tidak segera bertindak, mereka akan menjadi bagian dari hutan ini. Sama seperti kami.”

Mikhael memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa takut yang mulai menguasainya. Ia tidak ingin kehilangan teman-temannya. Tapi untuk melakukan apa yang diminta, ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.

“Apa yang harus kulakukan?” akhirnya Mikhael bertanya, suaranya terdengar tegas meski hatinya berdebar kencang.

Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyuman itu lebih terasa seperti keputusasaan daripada harapan. “Kau akan tahu saat waktunya tiba. Percayalah pada nalurimu, dan pada mereka yang bersamamu. Karena hanya dengan persatuan kalian, takdir ini dapat diselesaikan.”

Mikhael menatap pria itu, merasa beban yang begitu berat kini berada di pundaknya. Ia tahu bahwa apa pun yang menunggunya di depan, ia tidak bisa mundur. Takdirnya kini telah terungkap, dan hutan ini tidak akan melepaskannya begitu saja.



Thanks for read. Janlup vote ya

Hutan Terlarang (by Michelina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang