kembali ke hutan

1 1 0
                                    

Ketegangan menyelimuti mereka sejak langkah pertama memasuki Hutan Terlarang untuk kedua kalinya. Kali ini, rasa penasaran sudah berganti menjadi rasa terpaksa. Mikhael tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Entah bagaimana, mereka harus menyelesaikan apa yang telah mereka mulai—atau hutan ini akan terus menghantui mereka, bahkan mungkin membawa mereka ke dalam kegelapan untuk selamanya.

“Kenapa harus kita yang menghadapinya?” gumam Darren pelan, suaranya hampir tenggelam dalam langkah mereka di atas tanah basah.

“Karena kita yang membuka jalan itu,” jawab Mikhael dengan nada serius. “Dan kita yang harus menutupnya.”

Pohon-pohon tampak lebih rapat, lebih tinggi, seakan memenjarakan mereka. Udara terasa berat, hampir sulit untuk bernapas. Nara berjalan di belakang Mikhael, menggenggam erat lentera kecil yang mereka bawa. Dia terus melihat ke sekeliling, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik bayang-bayang pepohonan.

“Perasaan ini semakin buruk,” bisik Nara. “Seperti ada sesuatu yang menunggu kita.”

“Aku juga merasa begitu,” sahut Farrel, yang biasanya penuh percaya diri, tapi kali ini nada suaranya menunjukkan ketakutan.

Mereka tiba di tempat yang sama seperti sebelumnya, lokasi di mana mereka pertama kali bertemu dengan bayangan dan mendengar suara jiwa-jiwa yang terperangkap. Namun, kini semuanya berubah. Danau yang sebelumnya tampak jernih dan tenang kini berwarna hitam pekat, seperti tinta yang menutupi permukaannya. Udara di sekitarnya terasa dingin, menusuk tulang.

“Ini… apa yang terjadi di sini?” tanya Aryan, menatap danau itu dengan ngeri.

“Ini tidak sama,” kata Mikhael dengan suara pelan. “Hutan ini… dia tahu kita kembali.”

Tiba-tiba, sebuah suara berat menggema di udara. Suara yang membuat darah mereka membeku.

“Kalian kembali… untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai. Tapi kali ini, harganya akan lebih besar.”

Sosok bayangan yang pernah mereka lihat sebelumnya muncul di tengah-tengah danau. Kali ini, bayangan itu tampak lebih jelas, lebih nyata. Tubuhnya yang besar terbuat dari kabut hitam pekat, dan matanya yang kosong tampak seperti jurang tanpa dasar. Bayangan itu menatap langsung ke arah Mikhael, seolah hanya dia yang menjadi fokusnya.

“Mikhael,” panggil suara itu. “Kau yang dipilih. Kau yang membuka gerbang. Kau yang harus membayar.”

Nara menggenggam lengan Mikhael, wajahnya penuh ketakutan. “Mikhael, jangan dengarkan dia. Kita harus pergi.”

“Tapi kalau kita pergi sekarang, apa yang akan terjadi?” tanya Mikhael, suaranya bergetar namun tetap mencoba tenang. “Apa yang akan terjadi pada desa? Pada kita?”

Bayangan itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak seharusnya dimiliki oleh sesuatu yang bukan manusia. “Pergi, dan kutukan ini akan menyebar. Tetaplah di sini, dan kau mungkin bisa menyelamatkan mereka… dengan mengorbankan dirimu.”

“Apa maksudmu?” tanya Farrel dengan nada tinggi, mencoba melawan ketakutannya.

“Hutan ini adalah rumah jiwa-jiwa yang terperangkap,” jawab bayangan itu. “Hanya dengan menyerahkan satu jiwa sebagai penjaga baru, mereka bisa dibebaskan. Mikhael, kau yang membuka gerbang itu. Kau yang harus menjadi penjaga berikutnya.”

Hening. Kata-kata itu seperti palu yang menghantam mereka semua. Mikhael menatap bayangan itu, lalu teman-temannya.

“Aku tidak bisa membiarkan kalian menjadi korban,” kata Mikhael akhirnya, suaranya tegas meski matanya menunjukkan keraguan.

“Mikhael, jangan!” seru Rayyan. “Kita pasti bisa menemukan cara lain. Kita nggak harus mengorbankan siapa pun!”

“Tapi kalau nggak ada yang berkorban, semuanya akan berakhir lebih buruk,” jawab Mikhael.

Bayangan itu semakin mendekat, tubuhnya seperti melayang di atas danau. “Keputusanmu, Mikhael. Waktu tidak berpihak pada kalian.”

Aryan maju beberapa langkah, berdiri di samping Mikhael. “Kalau dia mau kau, dia harus melewati kita dulu.”

Mikhael menahan Aryan agar tidak bertindak lebih jauh. “Ini tanggung jawabku,” katanya pelan. “Aku yang membawakan kalian semua ke sini. Kalau ada yang harus menanggung akibatnya, itu aku.”

Sementara itu, Nara mulai menangis pelan. “Mikhael, tolong jangan… Jangan tinggalkan kami.”

Mikhael tersenyum kecil, meski wajahnya masih tegang. “Aku nggak akan meninggalkan kalian. Aku hanya memastikan kalian semua selamat.”

Langkah Mikhael maju mendekati bayangan itu, namun sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, sebuah kilatan cahaya terang muncul dari arah lain. Sesuatu, atau seseorang, muncul dari dalam hutan, menghentikan langkah Mikhael dan bayangan itu.

“Cukup!” suara baru itu terdengar lantang, penuh kekuatan.

Siapa yang datang, dan bagaimana pengaruhnya terhadap keputusan Mikhael? Semua itu belum terjawab, tapi satu hal yang pasti—takdir mereka belum selesai.

Bab kali ini aga panjang guyss

Semangat baca nya yaa

Lanjut?? Vote duluu

Hutan Terlarang (by Michelina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang