Pembalasan Dari Hutan

3 1 0
                                    

Mereka duduk melingkar di dalam sebuah kabin tua yang telah mereka sewa sejak kembali dari hutan terlarang. Udara di ruangan itu dingin, meskipun api di perapian berkobar dengan nyala yang terang. Mikhael berdiri di dekat jendela, pandangannya menembus kaca yang penuh embun, seolah-olah ada sesuatu di luar sana yang dia tunggu.

“Hutan itu belum selesai dengan kita,” katanya, memecah keheningan.

Rayyan, yang biasanya selalu optimis, tampak gelisah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa takut yang mulai merayap. "Kita udah nyelametin jiwa-jiwa itu, Mikhael. Kita udah keluar dengan selamat. Apa lagi yang hutan itu mau dari kita?”

Nara, duduk dengan tangan yang saling meremas, menatap Mikhael dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Aku nggak ngerti... Apa maksudmu dengan ‘hutan belum selesai’? Bukannya semua ini sudah selesai?"

Mikhael memutar tubuhnya menghadap mereka. Cahaya api membuat wajahnya terlihat tegas, tetapi sorot matanya penuh kekhawatiran. "Dengar, aku juga ingin percaya kalau ini semua sudah selesai. Tapi aku nggak bisa abaikan firasat ini. Kita bukan cuma masuk ke hutan itu, kita membangunkan sesuatu yang lebih besar. Dan sekarang, itu nggak bakal berhenti sampai semuanya selesai.”

Aryan, yang sejak tadi duduk diam sambil mengasah pisau kecilnya, akhirnya angkat bicara. "Apa maksudmu ‘sesuatu yang lebih besar’? Kita udah ngelawan naga, membebaskan roh, bahkan hampir kehilangan nyawa. Apa lagi yang lebih besar dari itu?"

Farrel mengangguk, mendukung Aryan. "Dia benar, Mikhael. Kita udah ngelakuin semua yang bisa kita lakukan. Kalau hutan itu masih nyari masalah sama kita, mungkin... mungkin kita harus ngelupain aja."

“Lupa?!” Darren berseru dengan nada marah. “Gimana caranya lupa kalau setiap malam aku masih denger suara bisikan itu? Gimana aku bisa lupa kalau bayangan di hutan itu masih muncul di mimpiku? Kamu nggak inget, Farrel, waktu hutan itu nyaris ngambil nyawamu?”

Semua terdiam. Darren jarang sekali menunjukkan emosinya, tapi malam itu, suaranya pecah dengan rasa frustrasi.

Nara memandang Mikhael, berharap dia punya jawaban. Tapi Mikhael hanya menggeleng pelan. "Aku nggak tahu apa yang bakal kita hadapi, tapi aku tahu satu hal: kita nggak bisa terus lari. Kalau kita biarin ini terlalu lama, hutan itu bakal ngambil sesuatu yang lebih besar dari kita.”

Rayyan mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu ‘lebih besar’?"

Mikhael terdiam sesaat, sebelum berkata dengan suara rendah. “Kehidupan kita.”

Semua terdiam. Kata-kata Mikhael seperti pisau yang menusuk dalam.

"Jadi apa rencananya?" Aryan bertanya dengan nada datar, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia siap untuk apa pun.

"Kita harus balik ke hutan itu," jawab Mikhael tanpa ragu.

Darren tertawa pendek, meskipun tanpa humor. "Serius, Mikhael? Kita hampir mati di sana terakhir kali!"

“Aku serius,” tegas Mikhael. “Kalau kita nggak selesain ini sekarang, hutan itu bakal terus datang buat kita. Kita mungkin udah keluar, tapi sebagian dari diri kita masih terikat di sana. Dan aku yakin, hutan itu nggak akan berhenti sampai semuanya selesai.”

Rayyan berdiri dari kursinya, menatap Mikhael dengan tajam. “Jadi ini intinya, ya? Kita harus balik ke tempat itu, ngelawan entah apa yang nunggu di sana, dan berharap kita bisa keluar lagi dengan utuh?”

Mikhael mengangguk. “Kalau itu satu-satunya cara, ya.”

Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Kalau kita beneran harus balik... apa kita siap? Maksudku, kita bahkan nggak tahu apa yang bakal kita hadapi.”

Aryan menyelipkan pisaunya ke sarung di pinggangnya. “Kita nggak pernah siap untuk yang pertama kali, Nara. Tapi kita berhasil keluar. Dan kali ini, kita bakal lakuin hal yang sama.”

Farrel menatap ke arah perapian, matanya tampak kehilangan fokus. “Aku nggak suka ini, tapi aku nggak mau hidup dengan rasa takut setiap hari. Kalau ini satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini... aku ikut.”

Satu per satu, mereka setuju. Darren menghela napas berat, sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Tapi kalau kita mati, aku akan menghantui kalian selamanya.”

Semua tertawa kecil, meskipun tawa itu tidak benar-benar meringankan ketegangan yang ada.

“Jadi, kapan kita berangkat?” tanya Rayyan.

Mikhael melihat ke arah jendela, di mana bayangan pepohonan hutan tampak melambai seperti makhluk hidup. "Besok pagi. Kita selesaikan ini sekali untuk selamanya."

Dan dengan itu, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Hutan masih memanggil, dan kali ini, pembalasan yang lebih besar sedang menanti.

Hutan Terlarang (by Michelina)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang