Prolog

5 1 1
                                    

Matahari pagi menyinari ladang-ladang padi di Kampung Tongzi dengan sinar keemasan yang lembut. Namun, di sebalik keindahan itu, kehidupan Huang Yu Chun tidak seindah pemandangannya. Gadis berusia dua puluh tahun itu sudah biasa dengan jerih-perih, mencangkul tanah sawah yang keras dan kering, berjuang bersama ayahnya yang semakin lemah dimamah usia.

Suara burung berkicauan dari pepohon berhampiran, terdengar merdu bagi sesetengah orang, namun bagi Yu Chun, irama itu terasa seperti ejekan halus - seolah-olah alam sendiri mengingatkannya tentang nasib mereka yang tidak pernah berubah. Dia seorang anak petani yang miskin, hanya mampu bermimpi tentang masa depan yang masih terlalu jauh, terlalu kabur, dan hampir mustahil untuk dicapai.

"Chun'er, dah-dah lah tu. Berehat kejap. Dari subuh tadi kau tak henti-henti" ujar ayahnya, suaranya sedikit serak sambil menyeka peluh di dahi.

Yu Chun berhenti seketika, tapi hanya untuk menggeleng kepala perlahan. "Ayah, kalau kita berhenti, nak makan apa nanti bulan depan?"

Ayahnya menarik nafas panjang. Senyum pahit terukir di wajahnya. Dia tahu Yu Chun bercakap benar, tapi sebagai seorang ayah, dia rasa serba salah melihat anak gadisnya memikul beban sebesar ini. Yu Chun pula faham, hidup mereka memang tak pernah mudah. Pernah terlintas di fikirannya untuk belajar membaca dan menulis, tapi di kampung terpencil seperti Tongzi, impian itu seperti angan-angan kosong.

Namun, pada pagi itu, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Langit berwarna pucat, kabut tipis melayang di atas sawah, keheningan pagi itu mendadak terpecah oleh suara derap kuda yang menggema di jalan utama kampung. Penduduk keluar dari rumah mereka satu per satu, wajah-wajah penuh teka-teki mengintip dari balik pintu dan jendela. Di tengah dataran, seorang lelaki berdiri dengan gagah. Pakaiannya seragam biru tua dengan sulaman emas yang mencerminkan kedudukannya yang tinggi. Suaranya menggelegar, menggulung seperti guntur yang membawa perubahan.

"Dengarlah, penduduk Kampung Tongzi!" serunya, suaranya menusuk ke setiap penjuru. "Istana memerlukan pelayan baru! Gadis-gadis muda yang sihat dan rajin, datanglah ke balai kampung. Ini adalah kesempatan yang jarang datang! Ini peluang untuk mengubah nasib kalian dan membawa kehormatan kepada keluarga serta kebanggaan bagi kampung ini!"

Kata-kata itu seperti angin kencang yang membawa daun-daun jatuh berserakan. Setiap rumah berbisik. Setiap ibu memandang anak gadis mereka dengan tatapan penuh dilema. Setiap ayah bergulat dengan pertanyaan yang tak terjawab.

Di depan rumah mereka yang sederhana, Yu Chun menatap ayahnya. Ada percikan cahaya di matanya - cahaya yang tidak pernah dilihat ayahnya sebelum ini. Cahaya harapan. Cahaya keberanian. Tetapi bersama harapan itu ada keraguan yang tersembunyi di balik wajahnya.

"Ayah..." Suaranya lembut, tetapi ada kekuatan di baliknya. "Saya nak cuba."

Ayahnya menatapnya lama. Sangat lama, seolah-olah mencari kekuatan untuk mengucapkan sesuatu yang tidak ingin dia ucapkan. Pandangannya jatuh ke tangan anaknya - tangan yang telah menanggung kerja keras bertahun-tahun, tangan yang terlalu muda untuk menahan begitu banyak beban. Dia tahu keputusan itu bukan hanya tentang Yu Chun. Keputusan itu juga tentang keluarganya, tentang masa depan mereka yang kelam. Tetapi bagaimana mungkin seorang ayah melarang anaknya mengejar harapan, walau dia tahu jalan itu penuh duri?

Ayahnya terdiam lama. Akhirnya, dia mengangguk perlahan. "Kalau kau betul-betul mahu, ayah izinkan. Tapi hati-hati, Chun'er. Dunia istana tu bukan macam di sini. Banyak tipu dayanya. Hati-hatilah. Banyak yang cantik di permukaan, tapi racun di dalam."

Yu Chun tersenyum kecil. Senyuman itu bukan kerana dia tidak tahu bahaya yang menanti. Tapi kerana dia tahu, untuk pertama kalinya, dia mendapat peluang. Peluang untuk melangkah keluar dari kesempitan hidup ini, peluang untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar gadis desa yang terkubur oleh batasan kampung. Dia tahu jalannya akan panjang, dan mungkin menyakitkan. Tapi dia bersedia.

Matahari mulai muncul di balik perbukitan, memancarkan sinarnya yang hangat ke tanah basah Kampung Tongzi. Ayahnya menatap Yu Chun dengan berat hati, dan di dalam pandangannya ada doa yang tidak terucap berserta harapan yang hanya bisa dirasakan.

Yu Chun's Journey : Hasil Yang MemuaskanWhere stories live. Discover now