Liu Qiaqio, yang berasal dari keluarga paling berkuasa di Kekaisaran, kini berada di ambang kematian. Namun, situasi ini terasa lebih menggelikan daripada menyedihkan. Aku telah menikah dengan kaisar selama lima belas tahun. Lima belas tahun yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan justru dipenuhi penderitaan tanpa akhir.
Sejak lahirnya, kehadirannya adalah sebuah keajaiban. Ibunya yang berambut hitam dan ayahnya yang berambut cokelat hazel melahirkan seorang bayi berambut putih, Liu Qiaqio. Bayi itu begitu cantik hingga para dokter lupa bahwa sang ibu membutuhkan perawatan segera dan terus mengagumi bayi itu.
Lahir di rumah Jenderal Liu, ia menjadi kesayangan ayahnya. Apapun yang diinginkannya, sang jenderal akan menurut. Sebagai seorang ger, ia selalu dikelilingi oleh banyak pelamar.
Namun, siapa sangka dia jatuh cinta pada putra mahkota yang kejam? Setelah menikah dengan putra mahkota, Liu Qiaqio yang cantik dan baik berubah menjadi seseorang yang dianggap jahat dan licik.
Segalanya menjadi semakin rumit ketika sang putra mahkota menemukan selir yang sangat dicintainya, hingga ia menghukum permaisuri demi selir itu. Namun, itu baru permulaan.
Di tahun pertama pernikahan mereka, permaisuri melahirkan seorang pangeran, tetapi sang putra mahkota bahkan tidak datang untuk memberi nama anak itu karena selir kesayangannya terkena flu.
Setelah sang putra mahkota menjadi kaisar, hal pertama yang dilakukannya adalah memberikan gelar kepada selir kesayangannya. Permaisuri yang baru dinobatkan begitu marah hingga ia batuk darah. Namun, itu hanyalah awal dari penderitaannya.
"Apakah kau bahagia sekarang?" tanyaku dengan nada mengejek, tetapi sebenarnya aku hanya mengejek diriku sendiri.
"Tentu saja," jawabnya dingin sambil memeluk selir kesayangannya, dengan mata penuh penghinaan.
"Apa salahku sehingga kau membenciku sejauh ini? Apa aku telah melakukan sesuatu yang membuatmu memandangku dengan begitu hina? Apakah mencintaimu adalah dosa yang begitu besar?" tanyaku lemah.
"Dosamu adalah mencintai seseorang yang seharusnya tidak kau cintai," jawabnya dingin.
Aku melihat anak-anakku menatapku dengan air mata yang ditahan. 'Walau aku memperlakukan mereka dengan keras, mereka tetap memandangku dengan penuh kasih.' pikirku sambil tersenyum pahit.
'Dia benar. Aku telah menghabiskan begitu banyak cinta untuknya hingga tidak ada yang tersisa untuk anak-anakku, untuk mereka yang benar-benar peduli padaku. Ayahku, ibuku, bibiku, saudara-saudariku, bahkan ibu suri. Aku buta, mengabaikan semua orang penting karena terfokus pada satu orang.'
Aku mengangkat tangan, memanggil anak-anakku mendekat. Sang kaisar memandang curiga, tetapi putra sulungku tak pernah menghiraukannya.
"Ya, ibu permaisuri?" suaranya lembut, sangat berbeda dari nada dingin yang biasa ia gunakan pada orang lain.
"Ibu ingin meminta maaf," ucapku. Semua orang di sekitarku terkejut, tetapi aku melanjutkan, "Ibu tidak pantas menerima maaf kalian, tapi izinkan ibu sekali lagi meminta satu hal." Matanya mulai basah, dan itu membuatku terkejut; untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis.
"Katakan, ibu," ucapnya, mencoba menahan suaranya agar tidak pecah, lalu menggenggam tanganku yang pucat.
"Ibu ingin kau melindungi adik-adikmu dan memastikan kebahagiaan mereka. Ibu tahu ini tugas yang berat. Ibu sangat menyesal tidak merawat kalian selama ini. Ibu bahkan tidak pantas disebut ibu. Sebagai seorang ibu, seharusnya ibu mencintai kalian tanpa syarat dan merawat kalian hingga dewasa, tetapi malah menggunakan kalian sebagai alat untuk sesuatu yang bodoh seperti cinta."
Setelah selesai berbicara, putriku yang manis sudah berlari memelukku sambil terisak, dan putra kecilku yang ger menangis dengan ingus bercucuran. Namun, hanya aku yang tersenyum, senyuman tulus pertama dalam 15 tahun terakhir. Semua orang terkejut; mereka tak pernah menyangka aku bisa tersenyum seperti itu.
Namun, kebahagiaan itu singkat. Rasa sakit mulai terasa di perutku, dan aku meminta pelayan untuk membawa anak-anakku keluar dari kamar. Mereka menolak, tetapi akhirnya mereka dipaksa keluar.
Aku menatap terakhir kali pada orang yang kucintai, hanya untuk melihat dia sama sekali tidak memedulikanku. Seluruh perhatiannya tertuju pada selir kesayangannya. Aku tersenyum pahit dan membuat sebuah permohonan—sebuah kesempatan untuk mencintai anak-anakku, keluargaku, dan mereka yang peduli padaku. Dengan itu, aku menutup mata dan akhirnya beristirahat dalam damai. Atau begitulah pikirku.
"Yang Mulia, saatnya sarapan." Sebuah suara samar terdengar.
'Aku belum mati? Dan di mana rasa sakit di perutku?' pikirku bingung saat membuka mata dalam keadaan lemas.
Aku duduk tegak di tempat tidur dengan cepat, tetapi rasa sakit itu tidak muncul. Aku berdiri untuk memastikan, tetap tidak ada rasa sakit.
"Apakah ada yang salah, Yang Mulia?" Suara yang familier bertanya. Aku segera berbalik dan memastikan dugaanku. Itu benar. Aku melihat Li Dani, pelayan setiaku yang dihukum mati di tahun kedelapan masa pemerintahanku sebagai permaisuri.
*"Yang Mulia, putra mahkota meminta sarapan bersama Anda. Haruskah saya izinkan?" tanyanya pelan.
Hu'er berhenti memintaku makan bersama sejak usia tujuh tahun, jadi apa yang terjadi? Lalu, aku melihat sekeliling. Aku berada di kamar permaisuri, bukan istana dingin.
"Dani, tahun berapa sekarang?" tanyaku dengan panik sekaligus gembira.
"Ini tahun ke-18 dari pemerintahan Jin Yu," jawabnya dengan tatapan aneh.
'Jadi aku kembali?'
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sin
FanfictionLiu Qiaqio, Permaisuri Dinasti Jin, telah menyerahkan hati, jiwa, dan raganya untuk sang kaisar. Dia mencintainya dengan sepenuh hati hingga merasa lelah, tetapi sang kaisar yang dingin hanya memiliki mata untuk satu orang, dan orang itu bukanlah di...