PROLOG

63 35 36
                                    

"I steal a few breaths from the world for a minute
And then I'll be nothing forever
And all of my memories
And all of the things I have seen will be gone
With my eyes, with my body, with me"

"I steal a few breaths from the world for a minuteAnd then I'll be nothing foreverAnd all of my memoriesAnd all of the things I have seen will be goneWith my eyes, with my body, with me"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam itu, angin dingin bertiup kencang di sepanjang jalan setapak desa, membawa bisikan dari hutan lebat yang berada di kejauhan. Langit gelap, tertutup awan tebal, seolah menahan rahasia yang tak ingin terungkap. Di rumah kecil yang terletak di pinggiran desa, Aria duduk dengan resah, menatap kosong ke luar jendela yang terbuka. Udara malam terasa berat, seakan-akan mengerti kegelisahannya.

Perutnya yang semakin membesar memberi tanda yang semakin jelas—dia sedang hamil. Namun, meskipun kebahagiaan itu mengisi hatinya, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya, belum ada kesempatan untuk memberitahu Lucian, suaminya. Sudah beberapa bulan terakhir, mereka semakin jarang berbicara, terpisah oleh pekerjaan dan kewajiban. Lucian sering keluar untuk membantu pertahanan desa dari ancaman yang semakin besar. Waktu mereka terasa terbatas, dan Aria tahu, malam ini—malam yang penuh ketegangan—akan menjadi malam yang berbeda.

"Lucian..." bisiknya, hampir seperti sebuah doa. "Malam ini aku harus memberitahumu. Aku tidak bisa menyembunyikan nya lagi."

Namun, tak lama setelah kata-kata itu keluar, suara teriakan mengerikan menggema dari kejauhan. Teriakan ketakutan dan suara langkah kaki yang terburu-buru. Aria bergegas menuju pintu, hanya untuk melihat penduduk desa berlarian dengan panik, wajah mereka pucat pasi. Sebuah ancaman yang sangat nyata.

"Segerombolan makhluk mengerikan menyerang Chateau de Valliere!" teriak seorang pria, suaranya bergetar. "Semua orang, mari bantu! Chateau itu harus dipertahankan!"

Desa mereka, yang selama ini damai, kini diserang oleh makhluk-makhluk malam yang tak dikenal. Mata mereka merah menyala, kulit mereka pucat dan dingin, serta taring mereka yang tajam bagaikan pisau. Serangan itu datang begitu cepat, dan ketakutan menyebar ke setiap sudut desa.

Lucian, yang sudah bersiap di luar rumah, mendengar teriakan tersebut dan segera mendekati Aria. Wajahnya tegang, tetapi ada keteguhan di matanya.

"Aku harus pergi, Aria. Ini tak bisa dihindari," katanya, suaranya keras dan penuh tekad. "Desa ini bergantung pada kita. Kita harus melindungi Chateau itu."

Aria menggenggam tangan suaminya dengan cepat, ekspresinya penuh kekhawatiran.

"Lucian, hati-hati. Jangan pergi... Jangan tinggalkan aku," katanya, suara hampir pecah. "Aku... ada sesuatu yang harus aku katakan padamu."

Lucian menatap wajah istrinya, merasakan kecemasan yang terpancar di matanya. Tapi suara teriakan yang semakin keras dari luar memaksanya untuk mengambil keputusan cepat.

"Kau tetaplah disini!"

"Aku akan kembali, Aria. Aku berjanji," katanya, menggenggam tangan Aria erat-erat, lalu dengan cepat berlari menuju medan pertempuran.

Love in The VineyardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang