Di pinggiran desa yang terletak tak jauh dari Château de Valliere, hidup seorang gadis muda bernama Selly. Usianya baru menginjak 18 tahun, namun hidupnya sudah penuh dengan kerja keras. Bersama ibunya, Lucy, Selly tinggal di sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh kebun sayur yang luas. Rumah itu sederhana, namun hangat, dengan atap jerami yang sudah mulai lapuk dimakan waktu dan dinding kayu yang kerap terasa dingin di malam hari. Meski begitu, mereka merasa cukup dengan apa yang ada.
Setiap pagi, Selly bangun lebih awal dari ayam jantan yang berkokok di kejauhan. Sinar pertama matahari yang menyentuh bumi selalu membuatnya tersenyum, meskipun hanya sedikit. Dia terbiasa dengan rutinitas yang berat, dan itu memberinya kedamaian. Setelah membangun api kecil di dapur untuk memasak sarapan, Selly akan keluar menuju kebun untuk memeriksa tanaman yang telah mereka rawat. Kebun sayur milik keluarganya tak pernah berhenti menghasilkan tomat, bawang, wortel, dan kentang tumbuh subur di tanah yang lembab.
Di pagi yang cerah itu, Selly berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun belakang rumah. Tangannya memegang keranjang anyaman yang sudah siap digunakan untuk memetik sayuran. Pagi ini, dia berniat memetik tomat merah yang sudah matang. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kehati-hatian, agar tidak merusak tanaman yang ia rawat dengan penuh kasih sayang.
"Kita butuh lebih banyak tomat minggu ini," Selly bergumam kepada dirinya sendiri, menyadari bahwa meskipun kebun mereka tumbuh dengan baik, ibunya seringkali kesulitan menjual hasil panen karena harga yang terus tidak stabil di pasar desa.
Selly merunduk dan mulai memetik tomat merah yang mengkilap, satu per satu. Gerakannya cekatan dan terampil, hasil dari bertahun-tahun berlatih bersama ibunya. Mereka tidak hanya menanam sayur untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk dijual di pasar desa yang ramai setiap akhir pekan. Keuntungan dari hasil kebun ini lah yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Di balik kebun sayur yang rapi, ada sebuah pohon apel yang sudah tua, yang sering dijadikan tempat Selly berteduh setelah seharian bekerja. Itu adalah pohon yang ditanam oleh ayahnya sebelum ia meninggal saat Selly masih kecil. Pohon itu adalah kenangan satu-satunya yang ia miliki tentang sang ayah, yang kini tak lebih dari sebuah cerita yang sering diulang oleh ibunya. Selly tahu bahwa ibunya selalu merindukan suaminya, tetapi ibunya juga tak pernah mengeluh. Mereka berdua saling mendukung dan bertahan hidup bersama.
"Ibu, aku akan pergi ke pasar sebentar," kata Selly setelah memetik beberapa tomat. Ia berbalik dan berjalan menuju rumah.
Ibunya, Lucy, sedang sibuk di dapur, mempersiapkan makan siang. Wajahnya yang ramah selalu dipenuhi senyum, meskipun dia lebih banyak berbicara dengan tanaman dan hewan peliharaan mereka daripada dengan orang lain.
"Jaga diri di jalan, Selly," ujar Lucy, melepaskan anaknya dengan pelukan singkat. "Jangan lupa bawa apa yang sudah kau petik tadi."
Selly mengangguk, mengambil keranjang sayur, dan pergi. Desa mereka bukanlah tempat yang besar, namun cukup ramai terutama pada hari-hari pasar. Jalanan sempit yang berliku di sepanjang desa dipenuhi oleh pedagang, petani, dan pembeli yang datang dari luar desa.
Sepanjang perjalanan menuju pasar, Selly menyapa beberapa orang yang ia kenal. Mereka semua adalah penduduk desa yang ramah, dan Selly merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Namun, di balik senyum dan sapaan hangat, ia merasa ada perasaan kesepian yang mengendap.
Kesehariannya yang penuh dengan pekerjaan di kebun dan pasar membuatnya jarang berinteraksi dengan orang lain di luar itu. Dia tidak punya banyak teman, hanya beberapa orang yang selalu membantu di pasar atau yang bertemu sesekali.
Pasar hari itu cukup ramai. Selly menata dagangannya dengan cekatan di atas meja kayu sederhana. Tomat merah yang baru ia petik tampak segar dan mengkilap. Ia mulai menarik perhatian pembeli yang lewat, yang tertarik pada harga yang lebih murah daripada pedagang lainnya. Namun, Selly tahu bahwa meskipun ia menawarkan harga yang lebih baik, keuntungan dari penjualannya tetap tidak banyak. Hidup di desa seperti ini tak pernah mudah.
Sore itu, setelah pasar mulai sepi dan dagangannya hampir habis terjual, Selly berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Dia merasa puas karena berhasil menjual sebagian besar hasil kebunnya, namun di sisi lain, dia juga merasa ada sesuatu yang hilang. Meskipun ia telah merasakan kebahagiaan dari kerja kerasnya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong—sebuah rasa yang semakin tumbuh sejak ia pertama kali mendengar tentang kebangkitan Château de Valliere beberapa bulan lalu.
Desa mereka terletak tidak jauh dari Château yang baru saja dibangun kembali. Meskipun Selly tidak tahu banyak tentang orang-orang yang tinggal di dalamnya, kabar tentang Château yang telah lama terbakar itu mulai menarik perhatian warga desa. Banyak yang berbicara tentang bagaimana kebun anggur di sekitar Château kini tampak begitu subur, bagaimana bangunannya yang megah itu kembali tegak berdiri, dan bagaimana orang-orang dari luar desa mulai berdatangan untuk melihatnya.
Selly tidak tahu apa yang membuatnya tertarik, tapi ada rasa ingin tahu yang tumbuh di dalam dirinya tentang kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan yang ia jalani setiap hari. Meskipun kehidupannya sederhana, ia mulai merasa bahwa ada dunia lain di luar sana yang bisa memberinya lebih banyak—sesuatu yang lebih dari kebun, pasar, dan rutinitas sehari-hari yang tak pernah berubah.
Ketika Selly kembali ke rumah dan menyerahkan hasil jualannya kepada ibunya, ia duduk di meja makan yang sederhana, menikmati makan malam bersama Lucy. Makanan mereka selalu sederhana—roti, sup sayur, dan sesekali telur dari ayam peliharaan mereka. Namun, meskipun sederhana, makan malam bersama ibunya adalah waktu yang paling berarti.
"Apa yang terjadi, Selly?" tanya Lucy dengan lembut saat melihat Selly diam, merenung setelah makan.
"Aku... hanya merasa ada sesuatu yang berbeda di luar sana, Ibu. Aku mendengar orang-orang bicara tentang Château itu. Semua orang membicarakan kebun anggurnya, bangunannya yang indah... Aku tidak tahu, Ibu. Kadang aku merasa ingin melihat dunia yang lebih besar daripada ini."
Lucy terdiam lalu tersenyum lembut, seolah sudah memahami perasaan anaknya. "Aku tahu, Selly. Suatu hari nanti, kau akan menemukan jalanmu. Tetapi ingat, rumah ini, kebun ini—semuanya ada di sini untukmu. Kita memiliki semuanya di sini."
Selly mengangguk, tetapi hatinya tetap terasa berat. Ia tahu bahwa ibunya benar—mereka punya kehidupan yang baik bersama. Namun, ada sesuatu yang terus mengganggunya, sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa diabaikan.
Ketika malam turun dan angin sejuk mulai menyapa, Selly berdiri di depan jendela kecil kamar tidurnya, memandang ke arah kebun dan desa yang terlelap. Château de Valliere ada di kejauhan, dikelilingi oleh kebun anggur yang tak terlihat jelas di bawah cahaya bulan. Selly tahu bahwa tak lama lagi, takdirnya akan membawa dia menuju tempat itu—ke dunia yang jauh lebih besar dari apa yang bisa dibayangkannya.
Terimakasih sudah membaca! Jangan lupa tinggalkan komen dan vote sebagai tanda semangat bagi Author!><
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in The Vineyard
Fiction généraleDi desa kecil, Selly, gadis ceria dengan mata berbinar, bertemu Eddie Yudovich, pemilik Chateau yang megah. Apa yang membuat mereka jatuh cinta meski berasal dari dunia yang berbeda? Ketika orang tua Eddie menentang hubungan mereka karena suatu raha...