"Dia nggak punya Ibu. Kalo Kakak nggak punya Ayah. Teman kayak gini saling melengkapi nggak, Ma?"
.
.
.
.
.Matanya dengan jelas menangkap semua aksi itu. Dari awal lengan Ayesha di tarik oleh Ardan, hingga cowok yang disukainya itu membelikan Ayesha ice cream membuat Alia kini termenung di sepanjang jalan pulang.
'Sejak kapan mereka deket?' Batinnya sambil menatap ke arah jalanan di samping lewat jendela mobilnya.
'Ayesha juga kayaknya makin benci sama gue gara-gara ucapan gue waktu itu.' Lanjutnya sambil menghela nafas pelan.
Tatapannya beralih ke depan di mana sang supir kepercayaan keluarganya tengah menyetir dengan fokus.
Kalau tidak di jemput begini sebenarnya Alia sangat malas untuk pulang menuju tempat yang bernama rumah.
Rumah baginya sekarang menjadi suatu hal yang sangat ia benci, bahkan terdengar asing di benaknya. Semua itu berawal darinya yang saat ini tidak pernah lagi mendapatkan kasih sayang dan kebahagiaan dari orangtuanya di dalam rumah.
'Kadang gue iri sama mereka yang walaupun keluarganya udah nggak lengkap, tapi tetap harmonis.' Batinnya dengan mata yang mulai berkaca.
'... sementara gue?' Lanjutnya bermonolog dalam hati.
'Kapan gue dapat kebahagiaan itu lagi?'
"Udah sampai, Non." Kata sang supir memecah lamunan Alia. Ia tahu anak majikannya itu tengah baik-baik saja.
Alia menatap mobil yang terparkir de depan teras rumahnya. "Papa udah balik?" Gumamnya pelan. Hal itu membuat sang supir mengangguk.
"Ya, tadi pagi setelah Non berangkat sekolah." Jawabnya tanpa membuat perhatian Alia teralihkan. Gadis itu terus menatap mobil milik Papanya.
"Gak usah di bukain, Pak. Makasih." Kata Alia dengan cepat membuka pintu mobilnya dan berjalan tergesa memasuki rumah.
Prangg!!!
Alia sontak memelankan langkahnya. Ia berdiri di balik pintu yang tertutup dan mendengar jelas keributan yang terjadi.
"Semua ini gara-gara Mama!" Teriak Papa-nya dengan keras itu masuk melalui indra pendengarannya.
"Apa sih?! Pulang-pulang langsung ma--"
Brakk!!
Dapat Alia dengar teriakan kesakitan dari Mamanya. Alia menggenggam erat knop pintu rumahnya. Biarlah, ini sudah terlelu sering terjadi, membuatnya terbiasa.
Lagipula keduanya sudah tidak menyayanginya. Mereka lebih cinta pada kesibukan pekerjaan masing-masing. Bukankah itu lebih bagus? Alia jadi punya kesempatan untuk mengakhiri hidup dengan cepat tanpa harus mereka tahu.
"DIAM!! KALAU BUKAN KARENA MAMA, PERUSAHAAN ITU NGGAK MUNGKIN BAKAL SEBANGKRUT INI DAN BUAT KERUGIAN BESAR BAGI PAPA!"
Alia memejamkan matanya erat, ia menutup kedua telinganya dan berjalan mundur menjauhi pintu.
"Nggak. Jangan... jangan lagi. Awas, pergii!!" Racaunya dengan tak jelas sambil menangis. Nafasnya menggebu. Sampai salah seorang pembantunya membantu menetralkan nafas Alia, dan membawa gadis malang itu ke kamarnya.
"Kenapa mereka terus begitu, Bi? Kenapa mereka nggak cerai aja dan semua masalah bisa selesai?"
"... Rumah ini damai tanpa suara keributan mereka lagi. A-aku capek, Bi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Love
Teen Fiction"Gue inget kita pernah ketemu sebelumnya." Namanya Ayesha Gabriella. Gadis bisu yang tumbuh dewasa tanpa sosok Ibu. Ia lahir dengan berjuta harapan besar yang di berikan oleh Bapaknya. Hidup yang tadinya sendu karena tak banyak orang yang mau bertem...